Seorang ayah, bila ia mempunyai putra yang beranjak remaja, lambat atau cepat ia akan disergap oleh pertanyaan seperti ini: 'Ayah, bolehkah berpacaran?'
Pengertian “berpacaran” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bercintaan, berkasih-kasihan.
Sebagai Ayah yang baik, kita sudah seharusnya sejak jauh hari berusaha menyiapkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tak terduga seperti itu. Namun seringkali kita tidak siap dengan jawaban ketika pertanyaan tadi terlontar dari mulut anak kita. Seorang ayah mempunyai posisi strategis. Ayah tidak saja menjadi pemimpin bagi keluarganya, seorang ayah juga seharusnya bisa menjadi teman bagi anak-anaknya, menjadi narasumber dan guru bagi anak-anaknya.
Sebagai Ayah yang baik, kita sudah seharusnya sejak jauh hari berusaha menyiapkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tak terduga seperti itu. Namun seringkali kita tidak siap dengan jawaban ketika pertanyaan tadi terlontar dari mulut anak kita. Seorang ayah mempunyai posisi strategis. Ayah tidak saja menjadi pemimpin bagi keluarganya, seorang ayah juga seharusnya bisa menjadi teman bagi anak-anaknya, menjadi narasumber dan guru bagi anak-anaknya.
'Tiada
pemberian seorang bapak terhadap anak-anaknya yang lebih baik dari pada
(pendidikan) yang baik dan adab yang mulia. (HR At-Tirmidzy)
'Barangsiapa yang mengabaikan pendidikan anak, maka ia telah berbuat jahat secara terang-terangan ...' Ibnu Qayyim.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Setiap kamu adalah pemimpin,
dan setiap kamu akan dimintai pertangungjawaban terhadap apa yang kamu
pimpin. Seorang suami (ayah) adalah pemimpin bagi anggota keluarganya,
dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang telah
dipimpinnya atas mereka. (HR Muslim).
Ada sebuah contoh yang datangnya dari keluarga Pak Anton. Ketika Budi anak remajanya bertanya soal berpacaran, Pak Anton
yang memang sudah sejak lama mempersiapkan diri, dengan santai
memberikan jawaban seperti ini: 'Boleh nak, sejauh berpacaran yang
dimaksud adalah sebagaimana yang terjadi antara Ayah dan Bunda' Pak Anton
menjelaskan kepada budi, bahwa berpacaran adalah menjalin tali kasih,
menjalin kasih sayang, dengan lawan jenis, untuk saling kenal-mengenal,
untuk sama-sama memahami kebesaran Allah di balik tumbuhnya rasa kasih
dan sayang itu. Oleh karena itu, berpacaran adalah ibadah. Dan sebagai
ibadah, berpacaran haruslah dilakukan sesuai dengan ketentuan Allah,
yaitu di dalam lembaga perkawinan.
Di
dalam sebuah Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Jangan sekali-kali
seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si
perempuan itu bersama mahramnya. Di luar ketentuan tadi, maka yang
sesungguhnya terjadi adalah perbuatan mendekati zina, suatu perbuatan
keji dan terkutuk yang diharamkan ajaran Islam (Qs. 17:32).
Allah
SWT telah mengharamkan zina dan hal-hal yang bertendensi ke arah itu,
termasuk berupa kata-kata (yang merangsang), berupa perbuatan-perbuatan
tertentu (seperti membelai dan sebagainya).' Demikian penjelasan Pak
Anton kepada Budi anak remajanya.
"Di
dalam lembaga perkawinan, ananda bisa berpacaran dengan bebas dan
tenang, bisa saling membelai dan mengasihi, bahkan lebih jauh dari itu,
yang semula haram menjadi halal setelah menikah, yang semula diharamkan
tiba-tiba menjadi hak bagi suami atau istri yang apabila ditunaikan
dengan ikhlas kepada Allah akan mendatangkan pahala." Demikian penjelasan pak Anton kepada Budi.
"Namun jangan lupa, sambung pak Anton, "Islam
mengajarkan dua hal yaitu memenuhi hak dan kewajiban secara seimbang.
Di dalam lembaga perkawinan, kita tidak saja bisa mendapatkan hak-hak
kita sebagai suami atau isteri, namun juga dituntut untuk memenuhi
kewajiban, menafkahi dengan layak, memberi tempat bernaung yang layak,
dan yang terpenting adalah memberi pendidikan yang layak bagi anak-anak
kelak ..."
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Seorang yang membina anaknya
adalah lebih baik daripada ia bersedekah satu sha' ... (HR At-Tirmidzy).
"Nah,
apabila ananda sudah merasa mampu memenuhi kedua hal tadi, yaitu hak
dan kewajiban yang seimbang, maka segeralah susun sebuah rencana
berpacaran yang baik di dalam sebuah lembaga perkawinan yang dicontohkan
Rasulullah..." Demikian imbuh pak Anton.
Seringkali
kita sebagai orangtua tidak mampu bersikap tegas di dalam menyampaikan
ajaran Islam, terutama yang sangat berhubungan dengan perkembangan
psikoseksual remaja. Seringkali kita 'malu' menyampaikan kebenaran yang
merupakan kewajiban kita untuk menyampaikannya, sekaligus merupakan hak
anak untuk mengetahuinya. Sebagai anak, seorang Iwan memang harus
mempunyai tempat yang cukup layak untuk menumpahkan aneka pertanyaannya.
Sebagai lelaki muda, yang ia butuhkan adalah sosok ayah yang dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cerdas, memuaskan, dan tepat.
Seorang ayah yang mampu menjawab pertanyaan bukan dengan marah-marah.
Berapa banyak remaja seperti budi diantara kita yang tidak punya tempat
bertanya yang cukup layak?
Bagi
seorang Budi, sebagaimana dia melihat kenyataan yang terjadi di depan
matanya, berpacaran adalah memadu kasih diantara dua jenis kelamin yang
berbeda, sebuah ajang penjajagan, saling kenal diantara dua jenis
kelamin berbeda, antara remaja putra dengan remaja putri, yang belum
tentu bermuara ke dalam lembaga perkawinan. Hampir tak ada seorang pun
remaja seperti IBudi yang mau menyadari, bahwa perilaku seperti itu
adalah upaya-upaya mendekati zina, bahkan zina itu sendiri!
Celakanya,
hanya sedikit saja diantara orangtua yang mau bersikap tegas terhadap
perilaku seperti ini. Bahkan, seringkali sebagian dari orangtua kita
justru merasa malu jika anaknya yang sudah menginjak usia remaja belum
juga punya pacar. Sebaliknya, begitu banyak orangtua yang merasa bangga
jika mengetahui anaknya sudah punya pacar. 'Berapa banyak kejahatan yang
telah kita buat secara terang-terangan ...?'
Di
sebuah stasiun televisi swasta, ada program yang dirancang untuk
mempertemukan dua remaja berlawanan jenis untuk kelak menjadi pacar. Di
stasiun teve lainnya ada sebuah program berpacaran (dalam artian
perbuatan mendekati zina) yang justru diasosiasikan dengan heroisme,
antara lain dengan menyebut para pelakunya (para pemburu pacar) sebagai
"pejuang." Dan bahkan para "pejuang" ini mendapat hadiah berupa uang
tunai yang menggiurkan anak-anak remaja. Perilaku para "pejuang" ini
disaksikan oleh banyak remaja, sehingga menjadi contoh bagi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar