Cerminan IMB Kota B. Aceh |
Oleh : Hasnanda Putra
Kami
persilahkan siapa saja yang mau berinvestasi di Banda Aceh, tapi aturan
tata ruang kota tetap harus dipatuhi (serambi 27/7). Selamat menanam
modal di Kota Banda Aceh, rasanya ini yang mau diucapkan Pemerintahan
Kota bagi setiap yang mau mendukung kota tua ini menjadi salah satu
tempat kunjungan wisata. Kehadiran Banda Waterboom (BWB) Ulee Lheue
paling tidak telah mampu menjadi salah satu sarana pelengkap wisata air
selain wisata kuliner yang sedang digalakkan pemerintah kota. Visi
bandar wisata islami indonesia makin mantap setelah sebuah piala “mini”
bertulis Adipura juga ikut diraihnya. Penghargaan tepat diusia tua 804 tahun, tentu tidak mudah didapat, paling tidak ini tidak terlepas dari peran cantik Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota Banda Aceh dan tentu saja peran manis dengan
tata ruangnya dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Banda Aceh. Alhasil
penghargaan ini paling tidak sedikit membesarkan hati kita setelah
sekian lama Banda Aceh kehilangan ruh sebagai ibukota provinsi yang nyaris tanpa kejutan dan prestasi.
Namun
membangun sebuah kota yang “penuh” dengan segala masalah disatu sisi
dan keberkahan disisi lainnya juga tidaklah gampang. Menertibkan
pedagang kaki lima atau memastikan tidak ada canoopy depan toko yang merintangi pe-jalan kaki bukanlah hal sulit, sekali gebrakan (SATPOL PP ) maka pedagang kaki lima (sebagian nyak-nyak)
akan angkat kaki dan demkian halnya dengan penegakkan hal perkara
lainnya, suasanapun pasti bersih sedap dipandang mata walau kadang hanya
sekejap? Begitupun misalnya menjadikan jalanan kota bebas ternak
bukanlah basa-basi, hampir jarang ditemukan lagi kasus hewan ternak
berkeliaran dikota, selain pengawasan ketat juga barangkali “sang”
ternak sadar, petugas Satpol PP sudah teruji sangat cekatan, lihai dan
cepat dalam menangkap ternak (keberhasilan “pasukan” pamong praja ini
pernah mendapat penghargaan khusus dihari ulang tahunnya beberapa waktu
lalu). Tapi kali ini beratnya bukan pada warga biasa dan hewan ternak,
namun pada yang “tidak biasa” yaitu kaum yang biasa kita sebut “awak
ateuh” yaitu Penguasa dan Pengusaha, praktis ini bukanlah pekerjaan gampang. Kekuasaan yang dimiliki Penguasa cenderung arogan, dan dana yang melimpah dari Pengusaha cenderung menjadikannya sombong dan takabur.
Kasus
pembangunan Banda Waterboom (BWB) di Ulee Lheue yang dimulai
pembangunan tanpa memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) adalah salah
satu ketidapatuhan “awak ateuh” (pengusaha lokal) terhadap aturan. Dan
klimaksnya berdirilah sarana wisata air itu tanpa aturan, padahal
sebelumnya sudah beberapa kali diperingatkan dengan harapan bangunan
wahana permainan air itu tidak memakan Garis Sempadan Bangunan (GSB).
Tapi, hal itu tidak pernah digubris, sehingga bangunan tersebut telah
mengganggu kelancaran lalulintas. Akhirnya Kepala Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP) Kota Banda Aceh, Iskandar S.Sos, memberi waktu satu
bulan pada pengelola Banda Waterboom (BWB) di Ulee Lheue untuk
membongkar bagian bangunan wahana permainan air tersebut yang terkena
garis sempadan bangunan (GSB). (serambi 27/7).
Kasus
ini sempat menarik perhatian banyak orang, karena pemilik Banda
Waterboom (BWB) di Ulee Lheue bukanlah pengusaha “asing”, usahanya yang
terkenal dengan merk PP telah lama berwara-wiri mencari rezeki dari
warga kota. Sayangnya kasus terakhir ini sedikit mencoreng “citranya”
sebagai pengusaha yang tidak taat aturan. Terlepas akhirnya dia mengurus
izin, tetapi keterlambatan ini dipandang sebagai sesuatu tidak baik dan
tak bersahabat. Walau akhirnya pemilik
Banda Water Boom (BWB), Abubakar Usman menyadari itu sebagai sebuah
kesalahan dan menyebutkan pihaknya sudah mengurus semua persyaratan
yang ditetapkan Pemko Banda Aceh dan saat ini menunggu keluar surat
izinnya (analisa 31/5).
Apa
yang menarik dicermati dari masalah ini, sebenarnya kalau semua pihak
sadar bahwa pembangunan Kota Banda Aceh tak hanya sekedar menutup ruang
kosong dan meramaikan ruang yang sepi, tetapi lebih dari itu dibutuhkan
estetika selain keindahan dan kerapian. Semua itu tentu telah diatur
dalam rancangan tata ruang dan tata wilayah (RTWW) Kota Banda Aceh. Tak
ada larangan membangun di kota ini, apalagi mau memberikan sesautu yang
berarti bagi kemajuan kota tentu akan disambut dengan tangan terbuka
asalkan taat aturan sebagaimana tertulis pada kalimat pembuka tulisan
ini dari seorang pejabat eselon Pemko Banda Aceh.
Miris
memang, untuk tidak mengatakan sedih, kecewa tentu, untuk tidak
menyebut kesal, sampai kapan semua sadar bahwa membangun kota bukan
seperti membuka lahan kosong dalam rimba raya. Kota dan rimba sungguh
berbeda jauh. Karena kita berada dalam kota maka segala aturan harus
dipatuhi dan dijalankan. Untuk apa kita sesumbar berinvestasi milyaran
rupiah untuk “meramaikan” kota, sementara membayar hanya beberapa jutaan
saja untuk PAD kota dengan mengurus IMB terasa berat. Uang melimpah
bisa jadi sedang dikejar siapapun pengusaha, tetapi janganlah kemudian
mengorbankan keindahan kota. Bila pengusaha yang notabene menjadi
panutan tidak patuh pada aturan sama halnya mengumumkan pada publik
bahwa di kota ini tidak berlaku aturan, tetapi yang kuat makin mantap,
yang lemah (warga kecil) makin tersingkir.
Pelanggaran tata ruang selama ini justru dilakukan oleh banyak penguasa (instansi pemerintah) dan pengusaha yang
notabene seharusnya memberi contoh yang baik bagi warga kota. Setelah
sebelumnya pelanggaran dilakukan oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan
Telekomonikasi (Hubkomintel) Provinsi Aceh yang melakukan pembangunan
Rehab Gedung Kantor, Pembuatan Ruang ATM dan pembuatan baliho yang
berlokasi di persimpangan Jl. Sultan Alaidin Mansyursyah dan Jl. Tgk Chik Di Tiro.
Harusnya
ada kesadaran semua pihak sipil atau militer (instansi) memahami dan
membaca Qanun No.3 Tahun 2003 tentang RTRW Kota Banda Aceh 2002-2010 ,
yang salah satu pasalnya berbunyi : “setiap orang yang berada di
wilayah Kota Banda Aceh dilarang: memanfaatkan atau melakukan aktifitas
pembangunan sebelum memperoleh IMB dari instansi yang berwenang”. Bahkan
kembali ditegaskan dalam Pasal 74 ayat (1) dan Pasal 81, Qanun No. 10
Tahun 2004 tentang Bangunan Gedung, yang berbunyi : “ Setiap orang
atau badan yang mendirikan, memperluas, merubah dan memperbaiki/merehab
bangunan gedung harus mendapat IMB dari Walikota”. Mungkinkah pasal-pasal ini tidak sempat dibaca awak ateuh (pengusaha dan penguasa) sehingga nyaris praktek pelanggaran didominasi kaum berduit dan berkuasa ini.
Akhirnya
memang kita berharap, ini adalah akhir pelanggaran tata ruang atau
aturan lain yang berkaitan dengan pembangunan kota, namun demikian kenekatan
membangun tanpa izin sebagai langkah merusak tata ruang juga pantas
kita berikan sanksi, walaupun sekedar sanksi moral berupa pengumuman
pada publik sebagai pihak yang tidak taat aturan dan merusak kota Banda
Aceh. Tanpa menyalahkan siapapun dan membenarkan apapun, benar kata
banyak orang bijak, kita butuh masukan untuk dana retribusi PAD
kota dari setiap perizinan IMB atau izin lainnya sebagai modal untuk
membangun kota dan melayani warga, tetapi tidak berarti kemudian target
PAD yang kita kejar menggeser keindahan dan kerapian kota kita.
Kini
Rancangan Qanun tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) 2009 akan
segera disahkan dengan harapan Banda Aceh dapat menjadi sebuah kota
yang teratur dan sistematis. Akankah kemudian “awak ateuh” patuh dan
taat pada aturan kembali? Dengan penekanan sanksi kedepan yang lebih
tegas dan tidak milih-milih, rasanya kita sebagai warga sangat berharap
bahwa tak ada perbedaan atau diskriminasi dalam penataan kota nantinya.
Bagi “awak ateuh” (penguasa dan pengusaha) yang biasa melanggar aturan
sudah saatnya ditegakkan aturan dan pilihannya harus jelas bagi yang
mengangkangi RTRW untuk dipersilahkan “meninggalkan” bisnis di kota ini
dan pindah mencari ladang rezeki dikota atau daerah lain yang mungkin
tidak perlu izin segala.
Nah
mungkinkah RTRW baru ini menyadarkan atau memaksakan “awak ateuh”
tunduk dan patuh pada aturan sehingga mereka bisa membedakan mana kota
(dengan aturan) dan mana rimba (tanpa aturan), atau hom hai kadang hana mangat ngen awak nyan? Wallahualam.
· Penulis adalah Pendiri Forum Kutaradja dan Pengurus KNPI Kota Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar