SEBELUM DINASTI USMANIYAH DI TURKI BERDIRI, KERAJAAN ISLAM SAMUDERA-PASAI DI ACEH TELAH BERDIRI
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Mara Silu yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik ul Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik ul Zahir, cucu Malik ul Saleh.
KETIKA SRIWIJAYA-PALEMBANG-BUDDHA LEMAH, MUNCUL SAMUDERA-PASAI-ACEH-ISLAM
Kedaulatan
kerajaan Sriwijaya (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra dengan
rajanya yang pertama Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang
Sumatera Selatan makin kuat dan daerahnya makin luas, setelah daerah dan
kerajaan Melayu, Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan
daerah Jawa Barat didudukinya
Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kekuatannya, ternyata mengundang raja Rajendrachola dari Cholamandala di India selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya. Ternyata dinasti Syailendra ini tidak mampu menahan serangan tentara Hindu India selatan ini, raja Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan, tetapi tetap kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini lemah, muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik ul Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik ul Zahir.
POLITIK SAMUDERA-PASAI-ISLAM BERTENTANGAN DENGAN POLITIK GAJAH MADA-MAJAPAHIT-SYIWA-PALAPA
Gajah
Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja
Jayanegara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada
menjadi Mahapatih Majapahit yang diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi.
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar
ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak
akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan
kerajaan Majapahit". Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah
Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan melihat bahwa
Samudera-Pasai-Islam di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350
Majapahit menggempur Samudera-Pasai dan mendudukinya. 27 tahun kemudian
pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat
Sriwijaya sebagai negara buddha yang berpusat di Palembang ini.
GILIRAN MAJAPAHIT-HINDU DIGEMPUR DEMAK-ISLAM
Ketika
raja Hayam Wuruk dari Majapahit meninggal tahun 1389, digantikan oleh
putrinya Kusumawardani dan suaminya. Ternyata pada masa ini timbul
perang saudara antara Kusumawardani dengan Wirabhumi (putra Hayam Wuruk
dari selirnya). Dalam perang saudara yang dikenal dengan nama Paregreg
(1401-1406) Wirabhumi bisa dikalahkan. Akibat dari perang saudara ini
Majapahit menjadi lemah dan mundur dan titik lemahnya adalah ketika
Girindrawardana memegang tapuk pimpinan Majapahit dan pada tahun 1525
digempur oleh Kerajaan Islam Demak yang dibangun oleh Raden Patah yang
tertarik dan belajar Islam di Sunan Ngampel, yang juga sebenarnya Raden
Patah ini masih keturunan raja Majapahit yaitu Brawijaya.
ACEH LAWAN PORTUGIS
Ketika
kerajaan Islam Samudera-Pasai lemah setelah mendapat pukulan Majapahit
dibawah Gajah Mada-nya, maka Kerajaan Islam Malaka yang muncul dibawah
Paramisora (Paramesywara) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan
panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai
pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dengan
armadanya menaklukan Malaka. Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis,
kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mukayat Syah
(1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan
Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah
(1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan
Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan
yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya oleh Sultan-sultan
Aceh ini. Selama periode akhir abad 17 sampai awal abad 19 keadaan Aceh
tenang.
SEBAB TIMBUL PERANG ACEH LAWAN BELANDA
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena,
1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2.
Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824).
Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat
ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara
yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
3.
Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal
Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini
disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
PERANG ACEH DARI TAHUN 1873 SAMPAI TAHUN 1904
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Perang pertama yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Kohler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Kohler sendiri tewas pada tanggal 10 April 1873. Perang kedua, dibawah Jenderal Van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda.
Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.
SIASAT SNOUCK HURGRONYE
Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga akhli Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Dimana isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah, Supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan. Menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronye diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya.
TAKTIK PERANG GERILYA ACEH DITIRU VAN HEUTZ
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo' Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik
selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang
dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz.
Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang
dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan. Taktik
terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan
perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap
dan diasingkan ke Cianjur.
SURAT PERJANJIAN PENDEK TANDA MENYERAH CIPTAAN VAN HEUTZ
Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
ACEH TIDAK TERMASUK ANGGOTA NEGARA-NEGARA BAGIAN RIS
41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dimana ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari,
1. Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville.
2. Negara Indonesia Timur.
3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
7. Negara Sumatra Selatan
8.
Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah,
Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar,
Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
9. Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.
PENGAKUAN BELANDA KEPADA KEDAULATAN RIS TANPA ACEH
Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)
KEMBALI KE NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama. Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
MAKLUMAT NII ACEH OLEH DAUD BEUREUEH
3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.
Isi Maklumat NII di Aceh adalah,
Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja.
1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara.
Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953
DESEMBER 1962 DAUD BEUREUEH MENYERAH KEPADA PENGUASA DAULAH PANCASILA
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
HASAN DI TIRO MENDEKLARASIKAN NEGARA ACEH SUMATERA 4 DESEMBER 1976
14 tahun kemudian setelah Daud Beureue menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila, Hasan Muhammad di Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Dimana bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra yang saya kutif dari buku "The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro" (National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984) yang menyangkut " Declaration of Independence of Acheh Sumatra" (hal: 15-17) adalah,
"To the people of the world: We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java....In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman, National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh, Sumatra, December 4, 1976". ("Kepada rakyat di seluruh dunia: Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa....Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 4 Desember 1976") (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984, hal : 15, 17
..Pada
tahun 2005 wilayah Aceh kembali menjadi perhatian dunia, seperti pernah
terjadi selama beberapa tahun di tahun 1670-an. Jika orang Aceh dulunya
pernah dianggap sebagai korban-korban agresi Belanda dan realpolitik
Inggris, mak saat ini orang Aceh dianggap sebagi korban-korban tak
berdosa akibat tsunami yang paling ganas dalam sejarah manusia. selain
itu, sejak tahun 1990-an, mereka juga menjadi korban bersalah atau tidak
bersalah akibat perang di wilayah mereka, atas apa dan bagaimana Aceh
harus tetap menjadi bagian dari Indonesia…
Anthony Reid
Kutipan pernyataan Anthony Reid di atas pada pengantar Buku The Contest for North Sumatera Acheh, The Netherlands and Britain 1858-1898,
edisi Bahasa Indonesia yang diterbitkan penerbit Yayasan Obor
Indonesia, dengan sangat tepat menggambarkan kenyataan hidup orang-orang
Aceh sampai dengan hari ini.
Reid
sebagai peneliti sejarah dengan baik mencatat satu periode konflik di
Aceh, kemudian bangsa Indonesia menjadi saksi hidup periode konflik
sesudahnya yang mengandung kekerasan yang tak kalah memilukan. Kita
sebagai saksi hidup yang melihat, mendengar, berempati, membela, atau
mungkin memberikan stigma atas mereka, lalu mendiamkan tragedi kekerasan
berpesta pora di Aceh. Apa yang ingin ditunjukkan oleh pernyataan Reid
di atas adalah suatu kontuitas dari sebuah ritus bernama konflik.
Sayangnya, sebagaimana koloni Belanda dan Inggris melawan bangsa Aceh
sebagai penghambat kepentingan projek kolonisasi, demikian pula ‘negara’ kita memperlakukan rakyat Aceh sebagai ‘duri dalam daging’,
masalah dalam integrasi NKRI dan integritas nasional, tanpa kejujuran
memahami dan menyelesaikan akar persoalan dan kemauan memilah antara
problem masyarakat sipil Aceh dan GAM..
Dengan
gamblang hasil penelitian Reid ini menunjukkan, bahwa akar persoalan
Aceh adalah kepentingan ekonomi politik, baik dari bangsa yang ingin
menguasai dan bangsa yang ingin mempertahankan. Sebagai ‘pemulung
catatan sejarah’ Reid berhasil menyatakan bahwa segala kekhasan Aceh
adalah marwah (martabat) yang tak mudah dirampas atau dihancurkan. Marwah
itu berupa sumber daya, tradisi, kebudayaan, kehidupan sosial, ekonomi
dan politik, serta suku-suku mereka. semua telah membuktikan kekuatan marwah
itu, baik kolonial Portugis, Inggris dan Belanda, serta terakhir
Indonesia (baca; elit politik Jakarta). Seperti macan yang tertidur, marwah yang terganggu akan meraung dan melawan dengan segala cara.
Tulisan
ini akan membedah tulisan Reid dengan satu maksud; memberikan suatu
analisa umum perihal konflik pada masa lalu dan menjelaskan mengapa
konflik tersebut berlanjut paska kemerdekaan dan penyatuan Aceh dalam
NKRI. Juga bagaimana konflik pada suatu masa yang dituangkan Reid dalam
bukunya terekam kuat pada setiap keturunan orang-orang Aceh, dan dengan
pemahaman yang kurang lebih sama dan memberikan jawaban yang sama,
berupa ‘pemberontakan’ atas nama marwah. Sebagai pelengkap,
sedikit akan diulas problem kontemporer yang menjadi penyebab konflik
Aceh bertahan sampai dengan perundingan damai paska tsunami yang
berujung pada MoU 15 Agustus 2005 lalu.
Perang Aceh I: Upaya Bertahan dari Kolonialisasi
Sebagaimana
diketahui, Aceh pada abad ke 11 merupakan pelabuhan transit bagi
pedagang India dan Arab yang berniaga ke China dan pusat perdagangan
rempah-rempah di Sumatera. Pada abad ke 13, kerajaan Samudra (Pasai)
menjadi kerajaan terkemuka yang mengelola pelabuhan dagang di ujung
sumatera tersebut, bersaing dengan kerajaan Malaka.
Pasai
muncul sebagai kekuatan baru pusat perdagangan dan pengetahuan Islam
setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Daratan Aceh yang
terpecah-pecah dalam kerajaan-kerajaan kecil berhasil di satukan
(dikuasai) penguasa kerajaan Aceh, Sultan Ali Mughayat Shah di bawah
satu kepentingan, yaitu membangun kekuatan melawan Portugis. Pada bulan
Mei 1521, Ali berhasil mengalahkan armada Portugis di bawah pimpinan
Jorge de Brito di laut lepas; awal dari pertempuran yang terus menerus
berlangsung selama kekuasaan Portugis di Malaka, 120 tahun. Ali juga
berhasil menjadikan Banda Aceh Dar-es-Salaam sebagai jalur baru
perdagangan muslim melalui selat Sunda, bukan lagi selat Malaka. Dengan
ambisi mengalahkan Portugis dan memonopoli hasil ekspor Sumatera dan
Malaya, kerajaan Aceh mengambil langkah resmi mengakui kekuasaan Sultan
Turki atas Aceh dengan imbalan bantuan militer Turki untuk melawan
Portugis.
Wilayah
ini mencapai puncak kejayaannya di tangan Sultan Iskandar Muda
(1607-36). Kerajaan mampu mengendalikan pelabuhan-pelabuhan strategis di
pantai Barat dan Timur, bahkan sampai ke wilayah Asahan di Selatan.
Hampir seluruh awal abad ke 17 merupakan tahun-tahun permusuhan dan
peperangan antara Aceh dan Portugis. Akibat permusuhan ini, kapal-kapal
dagang dari wilayah-wilayah yang dikuasai Portugis seperti Goa dan
Malaka sama sekali tidak bisa menyinggahi Aceh. Di bawah Iskandar Muda,
operasi-operasi militer dan serangan-serangan maritim dilancarkannya
melawan Malaka. Bahkan Iskandar juga menyerang dan berhasil menguasai
kesultanan Johor pada 1613 lantaran mereka memberikan tempat bagi pos
perdagangan Belanda yang sekaligus akan menyaingi Aceh dan Malaka.
Ketegangan sempat meredah paska wafatnya Sultan Iskandar Muda, dimana
utusan Portugis di Malaka meminta Aceh berpihak pada mereka untuk
melawan Belanda yang semakin berbahaya. Malangnya, utusan ini ditawan
dan dibunuh.
Paska wafatnya Iskandar Muda, kekuatan kerajaan Aceh meredup. Jabatan politik (Imam, Uleebalang, mantroe, panglima Sagi)
yang awalnya dipegang untuk kepentingan menjalankan kendali
pemerintahan dan perang, menjadi jabatan turun-temurun dan mendapat
kedudukan resmi dan terkemuka. Tidak ada lagi Sultan yang cukup kuat dan
dipatuhi semua pihak, sehingga praktis Sultan tidak mampu mengambil
tindakan apapun tanpa persetujuan para Uleebalang terkemuka. Namun para Uleebalang
tidak pernah mencoba merebut tahta. Mereka mengakui kekuasaan Sultan
atas istana dan pelabuhan, dan hanya berkepentingan mengatur wilayah
mereka masing-masing. Ketiadaan pemerintahan yang kuat mengakibatkan
hilangnya satu persatu kekuasaan kerajaan di luar tanah Aceh. Bahkan tak
lama setelah Iskandar Muda wafat, kekuatan laut dan dagang Belanda
berhasil memecah belah kerajaan Aceh untuk selama-lamanya, sehingga Aceh
kembali terbatas hanya pada wilayah-wilayah yang telah menyerap budaya
Aceh pada 1641 (yang tak lain merupakan wilayah pantai utara dan
pelabuhan-pelabuhan di pantai Barat hingga ke Barus).
Pada
masa-masa awal kerajaan Aceh, hampir seluruh ekspedisi dagang Eropa
(Inggris, Prancis, Belanda, Portugis dan Spanyol) pernah memasuki Aceh
dan diterima dengan baik. Ekspedisi ini kian langkah seiring dengan
meningkatnya ketegangan akibat ekspansi dan persaingan dagang di
perairan ujung Sumatera tersebut. Hanya dengan pedagang Prancis dan
Inggris kerajaan Aceh dapat berhubungan dagang cukup baik, selebihnya
gagal dan berakhir dengan permusuhan dan peperangan.
Restrukturisasi
kesultanan di tangan dinasti Arab pada 1699 dan dinasti Bugis pada 1727
gagal memulihkan kemakmuran kesultanan tersebut. Pada tahun-tahun ini
Banda Aceh hanya menerima penghasilan dari perdagangan dan persinggahan
di pelabuhan dengan nilai yang tak seberapa. Perdagangan secara umum
dikuasai pedagang Inggris yang bermarkas di India sehingga mendorong
keinginan mereka untuk mendirikan pusat pengunpulan hasil bumi.
Serangkaian pendekatan pada tahun 1762 ditolak mentah-mentah sehingga
akhirnya pada tahun 1786 Inggris memutuskan mencari tempat lain, Penang.
Tak lama sesudah itu, budidaya lada yang diperkenalkan di Aceh berhasil
gemilang. Pada tahun 1820-an, Aceh menjadi penghasil separuh dari total
produksi dunia, dengan pembeli pedagang-pedangan Amerika hingga tahun
1850-an.
Pada
periode ini, Aceh mau tidak mau terseret dalam perang kepentingan
dagang Inggris, Belanda dan negara-negara Eropa lainnya. Dukungan
Inggris kepada penguasa Aceh yang menghadapi pemberontakan dari kalangan
keluarga kerajaan tak lain dimaksudkan untuk mempertahankan persekutuan
menghadapi Belanda. Bagi penguasa Aceh dukungan ini penting untuk
menghadapi oposisi dari kalangan keluarga kerajaan, dimana perusahaan
India Timur memasok senjata dan uang dan menggunakan pengaruh mereka
untuk melemahkan dan mengusir kalangan oposisi. Karenanya kesultanan
memberikan keistimewaan kepada Inggris berupa janji untuk tidak campur
tangan dalam urusan perdagangan Inggris di Uleele dan Lhokseumawe,
menetapkan persekutuan pertahanan Inggris-Aceh, tidak akan membuat
perjanjian dengan bangsa asing tanpa persetujuan Inggris dan memberikan
hak kepada perusahaan India Timur untuk untuk berlabuh di semua
pelabuhan Aceh dan menempatkan utusan di istana Sultan. Perjanjian
tersebut tidak berjalan seluruhnya, dan situasi kerajaan tidak juga
membaik.
Paska
perjanjian Inggris-Belanda, Inggris dan Belanda sama-sama memandang
Aceh sebagai wilayah yang ‘merdeka’ tidak boleh dikuasai salah satu dari
mereka. Karenanya dengan segera Belanda dan Inggris menyiapkan sikap
bersahabat dan pengakuan untuk Aceh dan merencanakan perjanjian yang
baru. Sementara Inggris tidak lagi memandang strategis mempertahankan
persekutuan dengan Aceh dengan adanya perjanjian tersebut. Inggris yang
berkuasa di Penang mulai memutuskan untuk tidak meneruskan rencana
pembuatan perjanjian dengan alasan tidak akan efektif dan merugikan,
karena itu berarti mengakui kekuasaan Sultan Aceh. Belanda yang
mengharapkan ada pemasukan baru di wilayahnya tetap berupaya menguasai
Sumatera secara keseluruhan.
Belanda
sendiri pernah datang ke Aceh pada tahun 1599, Sayangnya dua bersaudara
Cornelis dan Frederik de Houtman datang ketika hubungan dagang kerajaan
dengan Portugis sedang baik dan Belanda sendiri merupakan musuh dengan
Portugis. Cornelis mati terbunuh, sedangkan Frederik ditawan. Pada
November 1600 Paulus van Caerden berhasil membuat perjanjian dagang
dengan Aceh, namun gagal membawa lada karena dibongkar paksa di
pelabuhan Aceh atas hasutan Portugis. Hubungan dengan Portugis kemudian
putus dan hubungan dengan Belanda membaik. Tahun 1601 pedagang Belanda
bernama Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa kapal dari
maskapai Zeeuw berlabuh di Banda Aceh.
Belanda
mengadakan hubungan dagang langsung dengan Sultan Siak, Deli, Langkat,
dll., yang sebelumnya mengakui kedaulatan Aceh. Setelah terusan Suez
dibuka tahun 1869 dan sultan Ibrahim Manshur Syah mangkat tahun 1870
Belanda memblokir perairan Aceh dan menyiapkan pendaratan dan
penyerangan ke sana. Hal ini mungkin untuk dilakukan karena kekuatan
Aceh yang kian melemah yang antara lain disebabkan faktor-faktor 1).
Jatuhnya kedudukan Sultan di bawah pengawasan Panglima Sagi yang merupakan representasi dari pimpinan mukim; 2). Pertentangan dan perebutan jabatan di kalangan orang kaya
sehingga sultan menjadi bulan-bulanan; dan 3). Tidak adanya tokoh kuat
yang mempersatukan golongan-golongan yang bertikai. Masyarakat Aceh
sendiri terpecah menjadi dua golongan, yaitu golongan Panglima Polem
dari XXII mukim yang anti Belanda dan golongan Panglima Tibang yang
kooperatif. Surat Komisaris Pemerintah Hindia Belanda tanggal 26 Maret
1873 yang menyatakan perang dengan Aceh karena Sultan Aceh waktu itu
–Sultan Mahmud Syah—termasuk golongan Panglima Polem.
Tanggal
8 April 1873 tentara Belanda mendarat di pantai Kuta Pante Ceureumen
dan memulai peperangan dengan dipimpin oleh Jendral Mayor Kohler.
Peperangan ini gagal dimenangkan Belanda. Akhir November 1873 ekspedisi
ke II Belanda Tiba di Aceh dan mulai meyerang serta merebut Masjid Raya
tanggal 25 Desember 1873 dan istana tanggal 24 Januari 1874. Semenjak
Belanda merebut Bandar Aceh Darussalam pemerintahan Aceh berpindah dari
satu tempat ke tempat dimana pasukan induk bermarkas. Sampai tahun 1896
peperangan masih seimbang karena pejuang Aceh sanggup merebut beberapa
tempat yang berada di tangan Belanda. Tanggal 1 Juni 1898 Kolonel Van
Heutsz melancarkan serangan besar-besaran ke Pidie dan daerah lainya
untuk memburu Sultan dan Panglima Polem. Setelah penangkapan-penangkapan
terhadap pejuang Aceh dan keluarga sultan, pada tanggal 20 Januari 1903
Sultan ‘Alauddin Muhammad Daud Syah menyatakan –di bawah tekanan—bahwa
Kerajaan Aceh menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan dia akan setia
kepada Ratu Belanda dan wakilnya Gubernur Jenderal. Meskipun demikian
Sultan tetap mengadakan hubungan rahasia dengan pemimpin-pemimpin perang
Aceh, sehingga oleh Belanda dibuang ke Ambon.
Tentara
Jepang masuk ke Aceh pada tanggal 12-13 Maret 1942 tanpa menghadapi
perlawanan dari Belanda karena beberapa hari sebelum pendaratan Belanda
sudah bergerak ke pedalam Aceh dan Sumatera Timur akibat perlawanan
rakyat. Kekalahan Belanda di Palembang tanggal 14 Februari dan 1 Maret
atas Jepang telah meyakinkan rakyat Aceh bahwa Belanda telah kehilangan
kekuatan. Rakyat Aceh menerima Jepang sebagai pembebas dan bersimpatik
karena mereka mengizinkan pengibaran bendera merah putih dan lagu
Indonesia Raya. Namun lama kelamaan rakyat Aceh merasa kecewa dan marah
karena Jepang memerintahkan mereka “menyembah matahari” setiap pagi –dan
berbagai bentuk kekerasan lainnya. Pemberontakan terhadap Jepang
terjadi di Lhokseumawe dan di Pandrah pada bulan Mei 1945.
Perang Aceh II: Upaya Mempertahankan Pengakuan Identitas
Persatuan
Ulama Seluruh Aceh (PUSA) lahir pada tanggal 5 Mei 1939 Peusangan,
Bireun, dengan pimpinan Tengku Moehammad Daud Beureuh. PUSA merupakan
kekuatan politik baru paska jatuhnya kekuasaan sultan ke tangan Hindia
Belanda sebagai kelanjutan perlawanan Aceh di bawah pimpinan ulama.
Organisasi yang didirikan untuk memperbaharui dan memajukan pendidikan
Islam ini berubah menjadi organisasi yang berorientasi pada politik
praktis, karena menjadi wadah perjuangan ulama Aceh (Tengku) melawan
elit tradisional atau ulebalang (Teuku) yang dipandang berpihak pada
Belanda. Pada mulanya PUSA tidak terlihat sebagai kubu anti-Belanda dan
anti-ulebalang, tetapi terlihat sebagai organisasi Islam modern yang di
dalamnya juga terdapat beberapa ulebalang. Menjelang akhir kekuasaan
Belanda PUSA tumbuh menjadi organisasi nasionalis murni yang
anti-Belanda dan ulebalang yang digunakan Belanda menjadi alat
pemerintahan di Aceh. Kalangan ulebalang dianggap tidak bisa diharapkan
karena begitu berakar dalam sistem pemerintahan kolonial. Pertikaian ini
berlanjut hingga masa kemerdekaan.
Beberapa
bulan setelah Jepang menyerah, terjadi “perang saudara” di Aceh.
Ulebalang diserang oleh ulama dan pengikutnya di seluruh Aceh. Konflik
ini tidak bisa disederhanakan sebagai perang atau pertentangan antara
adat dan agama atau antara kaki tangan Belanda dan Pembela kemerdekaan,
namun juga dimasuki motif ekonomi dan politik. Melalui revolusi sosial
kaum ulama ini peran sosial, politik dan ekonomi kaum ulebalang
dilenyapkan. Dalam dua bulan (Desember 1945-Januari 1946) kaum ulebalang
dimusnahkan, sedangkan yang masih tersisa diharuskan melepaskan hak-hak
turun-temurun, disita hartanya dan mereka yang memangku jabatan penting
dalam pemerintahan sipil dan militer Indonesia dipaksa untuk
mengundurkan diri. Jabatan-jabatan ini kemudian diisi oleh kaum ulama
PUSA.
Persoalan
lain yang kemudian “merisaukan” Aceh adalah keinginan pemerintah pusat
untuk menggabungkan Aceh dengan Tapanuli dan Sumatera Timur dalam
propinsi Sumatera Utara. Ketetapan Wakil Perdana Menteri Mr. Syafruddin
Prawiranegara No. 8\Des\WPM Tahun 1949 tentang status hukum provinsi
Aceh dinyatakan tidak sah oleh Aceh. Perubahan Republik Indonesia
menjadi Republik Indonesia Serikat dengan 10 provinsi dengan berdasarkan
Perpu No. 5 Tahun 1950 telah membuat suasana Aceh menjadi tegang karena
kuatnya penolakan Aceh terhadap penyatuan mereka di bawah Sumatera
Utara. Kongres PUSA pada tanggal 22 Desember 1950 di Kutaraja
mengeluarkan keputusan untuk tetap memperjuangkan otonomi Aceh dengan
alasan ciri budaya dan agama yang khas, termasuk sejarah perjuangan dan
kontribusi mereka sebagai daerah modal paska kemerdekaan. Berbagai usaha
pejabat pemerintah pusat untuk melakukan lobi di Aceh senantiasa gagal,
lantaran sampai dengan Kongres PUSA tahun 1953 tetap mengeluarkan
keputusan menuntut pembentukan kembali propinsi Aceh.
Sebagai
reaksi terhadap pemerintah pusat yang acuh tak acuh, pada tanggal 21
September 1953 Tengku Daud Beureuh akhirnya memproklamasikan Aceh
sebagai Negara Islam (Darul Islam) dan menjadi bagian dari Negara Islam
Indonesia (NII) Imam SM Kartosuwiryo. 38 hari setelah “pemberontakan”
tersebut Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberikan keterangan resmi
pemerintah dengan menyatakan bahwa pemberontakan tersebut merupakan
pemberontakan segelintir rakyat Aceh. Padahal suasana di seluruh wilayah
Aceh terasa sangat revolusioner. Sewaktu mengepung dan menyerang
pusat-pusat militer di kota-kota, “tentara” Darul Islam (DI) memandang
TNI sebagai tuntra kaphee (tentara kafir) dan meneriakkan
“Allahuakbar”. Semangat tersebut bertambah marak dengan berkibarnya
bendera DI yang bergambar bintang dan bulan sabit putih di atas dasar
merah.
Tanggal
19 September 1953 serangan terhadap pasukan pemerintah di Aceh Timur
dan Utara dimulai. Pos polisi di Peureulak diserang ribuan rakyat. Semua
komunikasi dengan Aceh putus tanggal 21 September. Tanggal 23-24
September Angkatan Udara membom pasukan DI di Bireun. Takengon jatuh ke
tangan DI setelah pasukan pemerintah mundur ke Bireun. Pemerintah
berusaha membujuk rakyat Aceh dengan menyebarkan beribu-ribu edaran yang
menyatakan bahwa tindakan DI adalah ilegal dan memperalat agama.
Setelah pertumpahan darah dan perundingan yang alot dan adanya
persetujuan otonomi untuk Aceh situasi agak mereda. Sebagian prajurit
Tentara Islam setelah melalui screening wajib akan dijadikan
wajibmiliter darurat. Tanggal 1 Oktober 1959 pemerintah membentuk Divisi
Tengku Cik Ditiro sebagai bagian khusus dari divisi tentara di Aceh
(Kodam Iskandar Muda). Pegawai-pegawai DI mendapat perlakuan sama. Ini
berarti bahwa Pemerintah daerah Aceh akan mengangkat bekas pemberontak
yang menyatakan setia dengan Republik Indonesia sebagai pejabat sipil.
Perang Aceh III: Upaya Mempertahankan Sumber Daya Ekonomi-Politik
Pada
tahun 1965, tak berapa lama setelah Aceh kembali menyatakan kesediaan
menjadi bagian dari NKRI dan pemberian status Daerah Istimewa, terjadi
perubahan politik yang luar biasa di Jakarta. Pemerintahan Orde Lama
Soekarno dilengserkan melalui ‘kudeta’ Angkatan Bersenjata di bawah
pimpinan Soeharto. ‘Kudeta’ ini berlangsung mulus dengan memanfaatkan
momentum krisis ekonomi-politik, ketidakpercayaan terhadap konsep
politik presiden (terutama dari kalangan militer) dan kekhawatiran
menguatnya Partai Komunis Indonesia yang menjadi 5 besar pada Pemilu
1955.
Sebagai
salah satu wilayah yang kecewa dengan sikap politik Soekarno, menolak
kekuatan PKI, dan menyimpan harapan baru otonomi Aceh di bawah status
Daerah Istimewa, kudeta ini juga mendapat ‘restu’ masyarakat politik
Aceh. Soeharto sebagai simbol anti-komunis dan terkesan ‘bersahabat
dengan Islam’ diterima secara umum di Aceh. Bahkan Ulama setempat pun
juga mengeluarkan fatwa yang membolehkan pembunuhan orang-orang komunis.
Beberapa laporan menyebutkan angka pembantaian yang cukup bombastis
sampai dengan puluhan ribu oleh militer dan rakyat terhadap pengikut PKI
.
Harapan
tersebut ternyata terlalu berlebihan. Tak lama setelah pemerintahan
baru berkuasa, tidak hanya harapan akan diakuinya nilai-nilai Islam
sebagai bagian dari kehidupan sosial politik Aceh yang hilang, tapi juga
ruang aspirasi politik lokal dihapuskan melalui kebijakan pemerintahan
yang sentralistik. Mereka hanya memberikan ruang kecil bagi Aceh untuk
menerima hak status Daerah Istimewa yang dijanjikan rezim terdahulu,
yaitu ruang apresiasi budaya yang terbatas, sementara janji otonomi
ekonomi-politik dilupakan. Pemerintah Pusat dengan segera menghapuskan
sistem pemerintahan lokal dan menyeragamkan sistem pemerintahan di Aceh
dengan provinsi lainnya dan menempatkan ‘orang-orang pusat’ untuk
melakukan kontrol ekonomi-politik. Semua dilakukan sebagai upaya
membangun stabilitas ekonomi-politik paska 1965.
Pada
masa kerajaan Aceh, wilayah ini dikenal sebagai wilayah penghasil hasil
pertanian terbaik. Sampai dengan tahun 1969 Aceh tetap menjadi daerah
“Lumbung Padi Indonesia”. Kondisi ini berubah total paska ditemukannya
sumber gas alam oleh Mobil Oil Indonesia pada 1971 di Kabupaten Aceh
Utara. Pada tahun 1977, penambangan mulai dilakukan, dan wilayah ini
dinyatakan sebagai Zona Industri Lhoseumawe. Pada tahun 1980-an,
pertambangan ini telah menyumbangkan 30 % dari total produksi minyak dan
gas Indonesia, terutama gas untuk kebutuhan ekspor. Pada periode
1990-an, jumlah tersebut meningkat menjadi 40 % yang hampir seluruhnya
(90 %) diekspor ke Jepang dan Taiwan (dengan kontrak kerjasama suplay 20
tahun).Pada tahun 1989, perusahaan Kertas Kraft Aceh juga mulai
berproduksi, perlahan-lahan menghabisi hutan-hutan pinus pegunungan
Aceh. Malangnya, di tengah berlimpahnya sumber daya alam, propinsi Aceh
justru menjadi propinsi ke 26 termiskin penduduknya di Indonesia.
Gemerlap
ekonomi ini tidak dengan serta merta membawa perubahan kehidupan
ekonomi Aceh. Meskipun telah ditemukan gas alam, masyarakat tetap
mengandalkan sumber pertanian dan laut sebagai sumber kehidupan yang
tidak seberapa, sangat kontras dengan kehidupan di kompleks zona
industri. Sampai dengan pertengahan 1970-an tak ada satu pun Sekolah
Teknik Menengah di kabupaten ini, dimana melalui sekolah ini masyarakat
setempat berharap bisa melanjutkan pendidikan dan bekerja di
pertambangan tersebut. Hampir seluruh posisi strategis perusahaan diisi
pekerja-pekerja dari luar Aceh. Yang juga terjadi adalah hilangnya
tanah-tanah pertanian penduduk akibat digunakan sebagai kawasan industri
dan dan pemindahan penduduk ke desa-desa baru (yang dalam beberapa
kasus itu hanya berupa janji-janji).
Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) atau Acheh/Sumatera National Liberation Front
(ASNLF) muncul sebagai reaksi paling ekstrim terhadap ketidakadilan
ekonomi-politik paska pemberian status Daerah Istimewa di Aceh. Sebagai
reaksi atas penghianatan Jakarta dan rasa frustasi terhadap pilihan
mayoritas masyarakat untuk menggunakan jalur loby politik formal yang
selalu gagal, GAM mengambil posisi mengorganisir gerakan bersenjata.
Tengku Hasan M. Di Tiro, mendeklarasikan gerakan ini pada Oktober 1976.
Pada tahun 1950-an, Tiro ikut dalam gerakan DI di Aceh. Pada tahun 1953,
Tiro bekerja sebagai staf Misi Indonesia untuk PBB di New York. Ketika
terjadi pemberontakan DI, dengan serta merta Tiro mendukung gerakan DI
dan menyatakan diri sebagai Duta Besar DI untuk PBB.
Bagi
Tiro, apa yang dilakukan elit politik Jakarta bukan saja merampas
hak-hak ekonomi-politik hampir seluruh wilayah Indonesia, namun juga
menggadaikan kedaulatan ke tangan kekuatan kapitalis Barat. Karenanya,
Aceh yang dalam pandangan Tiro memiliki latar belakang historis yang
berbeda dengan wilayah-wilayah lain patut menolak diam. Atas nama
pembangunan, Jakarta telah mengambil seluruh sumber daya daerah,
menenpatkan aparatnya untuk menekan reaksi terhadap kebijakan ini dan
mengabaikan keadilan. Apa yang dilakukan GAM adalah untuk mengembalikan
dan memastikan bahwa Bangsa Acheh-Sumatera dapat hidup bermartabat. Apa
yang dilakukan Jakarta dalam pandangan Tiro adalah bentuk kolonialisasi
baru terhadap Aceh.
Penutup
Pertumpahan
darah dan jatuhnya korban sipil selama konflik terjadi tidak dapat
dihindarkan. Perang bukan saja berupaya menghancurkan infrastruktur
gerakan bersenjata, namun nyaris menghabisi seluruh bangunan kehidupan
ekonomi, sosial, politik dan budaya Aceh. Bahkan lebih jauh, perang
telah menyebabkan Aceh dikucilkan dan dipandang sebagai anak
pembangkang. Propaganda pemerintah terhadap GAM telah menyebabkan
masyarakat Aceh yang berada di Aceh dan diluar Aceh mengalami
diskriminasi, stigmatisasi dan bahkan penghukuman tanpa proses hukum.
Semua
peta dan posisi politik baik pemerintah RI dan GAM berubah total paska
tsunami Desember 2004. Keberhasilan Perundingan Damai dan terwujudnya
MoU Pemerintah-RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 lalu membuktikan; Aceh
bukan bangsa yang tidak cinta damai, selama jalan damai tersebut
menghargai marwah mereka. Ketika pemerintah RI membuka tawaran
otonomi luas untuk Aceh, dengan segera GAM mencabut opsi merdeka dan
bersedia melakukan perundingan dalam bingkai NKRI.
Semoga
semua merupakan awal lahirnya damai di Aceh. Cukup sudah konflik
menjadi memoria pasionist, yang tidak akan lagi terulang di masa yang
akan datang. Tentu semua membutuhkan dukungan dan komitmen semua pihak,
terutama Pemerintah RI dan GAM. Karena tanpa komitmen, kita hanya akan
memulai suatu proses perlawanan baru di Aceh yang tidak dapat dipastikan
kapan akan berhenti.
Jakarta, 28 September 2005
Referensi:
1. Anthony Reid, Asal Usul Konflik Aceh (Jakarta: YOI, 2005)
2. Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) Cetakan Kedua.
3. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya 2, Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000) Cetakan Kedua
4. C . Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987)
5. M. Nur El Ibrahmy, Peranan Tengku Daud Beureuh Dalam Pergolakan Aceh (Jakarta: Media Dakwah, 2001)
6. Prof. Dr. Ismail Suny SH, MCL (Ed), Bunga Rampai Tentang Aceh (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980)
7. Tim Kell, The Roots of Acehnese Rebellion 1989-1992 (Itacha, New York: Cornell University, 1995)
8. Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992)
9. M. Nur El Ibrahmy, Peranan Tengku Daud Beureuh Dalam Pergolakan Aceh (Jakarta: Media Dakwah, 2001)
10. Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, Kasus Daarul Islam Aceh (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990)
11. Tgk.A.K.Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998).
12. Dyah Rahmany P, Rumah Geudong, Tanda Luka Orang Aceh (Jakarta: Cordova, 2001)
13. Audrey.R.Kahim, Pergolakkan Daerah pada Awal Kemerdekaan (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990)
14. Al Chaidar, GAM; Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam (Jakarta: Madani Press, 2000) Edisi Revisi
15. Mr.S.M Amin, Kenang-kenagan dari masa Lampau (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978).
Ketika
kerajaan Aceh mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Ratu-ratu
putri Iskandar Muda, Belanda memperbaharui perjanjian dagangnya dan
mulai menghasut pemberontakan kalangan bangsawan di pesisir timur dan
barat Sumatera sampai dengan lahirnya perjanjian Painan (6 Juli 1663)
yang menyatakan bahwa Indrapura, Tiku dan Padang masuk dalam
perlindungan Belanda yang berjanji menjamin kemerdekaan penuh daerah ini
dengan balasan monopoli perdangangan secara penuh. pada akhir abad ke
17 Belanda berhasil mematahkan monopoli Aceh terhadap perdagangan lada
di pesisir barat dan Sumatera utara.[1] Sejak itulah permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda dimulai.
Inggris
yang menduduki wilayah-wilayah Belanda antara tahun 1795-1816 seperti
Padang, Malaka dan Jawa terdorong untuk meluaskan diri dalam arus
perdagangan Asia Tenggara. Pendudukan wilayah-wilayah Belanda oleh
Inggris mendorong mereka untuk menguasai perdagangan Asia Tenggara dan
mempertahankan kendali atas jalur perdagangan selat Malaka ke Cina.
Dipaksa melepaskan Singapura, Belanda akhirnya menggunakan prinsip
demarkasi wilayah untuk melindungi diri dari Inggris melalui perjanjian
17 Maret 1824 dimana Belanda menyerahkan Singapura dan Inggris
menyerahkan Bengkulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar