Halaman

Rabu, 23 Oktober 2013

Wali Nanggroe Milik Siapa?

Tarik-ulur tentang konsep Raqan Wali Nanggroe semakin membuat lembaga ini menjadi tak terukur. Sebenarnya, Wali Nanggroe milik siapa?
Keberadaan lembaga itu sekarang ini tidak bisa kita nyatakan secepatnya. Diperlukan segera atau sebaliknya belum diperlukan. Kebutuhan dan kelanjutan dari lembaga ini setelah dibentuk sangat tergantung dari perkembangan sosial dan adat istiadat masyarakat Aceh, begitu kata pakar hukum Unsyiah, H Mawardi Ismail SH MHum kepada media ini pekan lalu.

Menurut Mawardi, munculnya lembaga Wali Nanggroe, setelah adanya kesepakatan damai (MoU) RI-GAM yang kini telah ditindaklanjuti ke dalam UU Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Dalam UUPA, pasal 96 ayat (1) dijelaskan, lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara adat lainnya.

Dari isi pasal 96 ayat 1 tersebut, menurut Mawardi Ismail, kewenangan lembaga Wali Nanggroe telah dibatasi sampai pada kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat. Penegasan pembatasan itu juga telah ditegaskan pada ayat 2 pasal yang sama, yang berbunyi; Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. Dan pada ayat 3, ditegaskan lagi lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Sedangkan dalam ayat 4 untuk pengaturan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, keuangan, dan ketentuan lainnya akan diatur dalam Qanun Aceh.

Rancangan Qanun Wali Nanggroe yang sedang dibahas Pansus XI DPRA, kata Mawardi, adalah untuk mengatur syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, keuangan, protokoler, dan ketentuan lainnya. Ini artinya, tugas Pansus XI DPRA adalah menyusun aturan main dari lembaga Wali Nanggroe tersebut agar tidak tumpang tindih dengan tugas dan fungsi dari lembaga adat, istiadat lainnya yang telah ada, misalnya dengan Majelis Adat Aceh (MAA).

Alasannya, sebut Mawardi, sekarang ini melalui Panitia Legislasi (Panleg) DPRA, ada dua raqan yaitu Raqan Lembaga Adat dan Raqan Pembinaan Kehidupan Adat yang juga sedang dibahas. Kedua raqan itu perlu dicermati dan dikaji kembali secara bijak dan arif, sehingga setelah raqan Wali Nanggroe lahir dan disahkan yang sasarannya juga menyangkut masalah adat istiadat “terkesan jadi mubazir.

Hanya itu? Tunggu dulu. Kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala ini. Salah satu kewenangan Wali Nanggroe adalah memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang kriteria dan tata caranya diatur dengan qanun juga. Tugas itu mungkin selama ini ditangani oleh MAA. Untuk itu, antara Pansus XI dan Panleg perlu koordinasi agar qanun mengenai adat-istiadat yang akan dilahirkan nanti saling mendukung dan memberikan manfaat bagi masyarakat, papar staf ahli hukum DPR Aceh.

Berbeda dengan Mawardi. Kalangan politisi Partai Aceh (PA) justeru memiliki pandangan lain tentang posisi dan kedudukan Wali Nanggroe. Juru Bicara PA, Adnan Beuransah menyebutkan. Posisi Wali Nanggroe bukan hanya simbol pemersatu bangsa, tapi memiliki kewenangan melebihi kepala pemerintahan (gubernur). Wali Nanggroe berhak membubarkan parlemen, menegur bahkan memecat gubernur jika dianggap tak mampu memimpin.

Adnan Beuransah menanggapi hal itu, Kamis pekan lalu, terkait proses pembahasan dan penyusunan Raqan Wali Nanggroe yang mulai mendapat reaksi Jakarta. Menurut Adnan, hingga saat ini pihaknya mulai berjuang melalui kancah perpolitikan, belum mengubah makna Wali Nanggroe versi mereka. Kedudukan Wali Nanggroe, kata Adnan, lebih tinggi dari gubernur, bukan setera apalagi di bawah gubernur.

Dia menambahkan, dalam perdebatan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan RI di Helsinki (sebelum MoU Helsinki ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005), GAM berpatokan pada poin-poin tersebut. Meskipun dalam butir-butir MoU tidak dicantumkan secara detail. Jadi, Wali Nanggroe versi kami bukan orang yang memimpin lembaga adat dan melakukan peusijuek-peusijuek, seperti yang dituangkan dalam UUPA. Wali Nanggroe itu ibarat raja yang berhak mengatur daerah ini jika dalam kondisi darurat, terang Adnan.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Widodo AS, mengatakan. Wali Nanggroe berada di bawah Gubernur dan bukan lembaga yang superioritas. Tapi pendapat Widodo ditepis Adnan Beuransyah. Kata dia, pendapat tersebut merupakan hak pemerintah pusat. Namun, pihaknya tetap berharap kebijakan yang diambil tidak melupakan MoU Helsinki. Dalam rapat dengan Pansus DPR Aceh minggu lalu, Partai Aceh yang diwakili Tgk Yahya Muaz dan Ibrahim KBS sudah menyampaikan kriteria Wali Nanggroe itu. Kalau nantinya disepakati bahwa Wali Nanggroe hanya mengurusi masalah adat, kami rasa itu nggak perlu karena berbenturan dengan Majelis Adat Aceh (MAA), tandasnya.

Sebaliknya, ada memberi ultimatum. Jika Raqan Wali Nanggroe nantinya disahkan menjadi qanun dan isinya tetap menyebutkan bahwa Wali Nanggroe adalah lembaga di bawah gubernur yang mengurusi masalah adat, pihaknya tidak keberatan. Tapi, kami akan mengubah kembali Qanun Wali Nanggroe tersebut, jika kami berhasil duduk dan menguasai kursi parlemen Aceh di Pemilu mendatang,tegasnya.

Seharusnya kata Adnan, Pemerintah RI tidak perlu curiga bahwa dengan adanya Wali Nanggroe di Aceh, yang punya kewenangan melebihi kepala pemerintahan. Sebab, kata Adnan, pihaknya tidak akan keluar dari bingkai NKRI seperti yang diamanahkan dalam MoU. Kebijakan-kebijakan akan diambil tidak melangkahi enam poin yang tersebut dalam MoU, yaitu militer, polisi, pengadilan, mata uang, kebijakan luar negeri, dan kebebasan beragama. Keenam poin tersebut Aceh tetap berada di bawah RI,papar Adnan Beuransah.

Adnan menceritakan, dasar pemikiran adanya Wali Nanggroe di Aceh merujuk pada sejarah Aceh masa kepemimpinan Sultan Mahmudsyah. Saat Sultan Mahmudsyah mangkat pada 1874 M, Majelis Negara Aceh memberikan tampuk kekuasaan kepada Sultan Muhammad Daud Syah yang saat itu baru berusia 12 tahun.

Karena kondisi Aceh darurat akibat agresi Belanda ke-2 dan Sultan Muhammad Daud Syah tidak mampu menanganinya, karena usia yang masih sangat muda. Majelis Negara Aceh menyerahkan kekuasaan dengan sebuah surat mandat kepada Tgk Chik Di Tiro Muhammad Saman sebagai Wali Nanggroe pertama. Ia mendapat empat julukan, yaitu Al Mukarram, Al Mudabbir, Al Malik, dan Al Maulana.Saat itu kondisi Aceh sangat kacau, karena itu Majelis Negara Aceh yaitu Tuwanku Banta Hasyim, Tuwanku Mahmud Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Raja Kuala, dan Tgk Chik Di Tanoeh Abe Abdul Wahab memutuskan mencari seseorang yang mampu mengatasi kekacauan tersebut dan melindungi Aceh dari serangan musuh, ulas Adnan Beuransah.

Keberadaan Wali Nanggroe terus berlanjut hingga kepemimpinan terahkhir (ke tujuh) yang dipegang oleh Tgk Chik Maad Di Tiro yang mangkat 3 Desember 1911 di Desa Pucok Alue Bhet, Tangse, Pidie. Surat mandat yang dikeluarkan oleh Majelis Negara Aceh kemudian diambil oleh Kapten Smitt lalu dikirimkan ke negaranya, Belanda. Tahun 1968, surat mandat tersebut dikembalikan oleh Ratu Yuliana kepada Tgk Hasan Muhammad Di Tiro (Tgk Hasan Tiro), ketika Tgk Hasan Tiro berkunjung ke Belanda, kisah Jubir Partai Aceh ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar