Oleh : Muslim El Yamany
“Coba perhatikan
akhir-akhir ini, sebagian besar mahasiswa sudah vakum, padahal mereka
sadar bahwa kondisi Aceh yang semraut seperti ini ”, kalimat
tersebut dilontarkan salah satu anggota keluarga ketika ngobrol santai
bersama keluarga sambil menyaksikan siaran televisi yang sedang mengulas
perjalan Akil Mukhtar (Ketua MK) yang sedang dililit kasus suap dan
menjadi headline hampir semua harian Nasional, bahkan media
internasional pun tak lupa untuk memberitakannya. “coba lihat, mahasiswa kita sekarang seperti kehilangan powernya” lanjut beliau.
Saya hanya tersenyum mendengar kalimat
sindiran tersebut tanpa mencoba memberikan pembelaan dengan
argument-argumen yang mungkin bisa saya sampaikan. Jam menunjukkan 00.00
wib waktunya istirahat. Namun kalimat tadi seakan mengahantui pikiran
hingga saya mencoba mengingat-ngingat perjalanan saya selama ini,
membandingkan dari setiap diskusi yang saya lakukan ; baik itu dikos,
kampus ataupun warung-warung kopi. Sebenarnya yang menjadi persoalan
bukan karena sindiran tadi, tapi lebih kepada rasa ingin tahu saya
tentang penyebab vakum tersebut, meski tuduhan itu tidak semuanya benar
karena saya yakin masih banyak mahasiswa yang peduli dengan kondisi
daerahnya, tapi rasanya juga tidak munafik bahwa kondisi itu juga benar
adanya.
Saya mencoba memutar pikiran kira-kira
apa penyebab sehingga kondisi mahasiswa saat ini dicap bagaikan badan
yang tak bernyawa. Sekedar pengingat, banyak kejadian-kejadian besar di
Indonesia bahkan dunia yang di aktori oleh mahasiswa,sebut saja
pergerakan mahasiswa pra kemerdekaan sejak tahun 1908-1945 atau pergerakan mahasiswa pasca kemerdekaan hingga tahun 1998 hampir dari semua tinta emas pergerakan mahasiswa tersebut di torehkan oleh para mahasiswa.
Lain laut lain karang, lain dulu lain pula sekarang.
Mungkin pepatah tersebut tepat kita gunakan untuk menggambarkan kondisi
mahasiswa sekarang, dimana mungkin dulu kondisi zaman tidak secanggih
ini dan rasa pedihnya penjajahan juga sangat kental dirasakan. Tapi jika
kita kembali kepada tuduhan diatas yang benar adanya, maka menurut saya
ada beberapa hal yang manjadi penyebab berkurangnya sikap respect para
mahasiswa dalam melihat isu-isu yang berkembang saat ini (khususnya di
Aceh) diantaranya adalah :
Pertama, Belenggu IPK,
Nilai yang tinggi memang idaman setiap mahasiswa, tapi tentunya harus
dibarengi dengan seberapa besar nilai beban moral yang telah kita
wujudkan sebagai mahasiswa. Ada yang salah selama ini pada kita
mahasiswa yaitu pemikiran bagaimana mendapatkan nilai yang tinggi
sementara kondisi sekitar kita lupakan. Sungguh naïf rasanya jika kita
hanya mementingkan kepuasan pribadi sementara rakyat awam menjerit-jerti
menanggung beban kehidupan kerena kebijakan yang salah.
Kedua, Sempitnya pola pikir.
Keadaan seperti ini tidak jauh beda dengan keadaan yang pertama, hanya
saja dalam kategori ini mungkin mahasiswa tidak hanya terfokus pada
nilai yang tinggi, tapi lebih kepada kurangnya pemahaman sang mahasiswa
tersebut dalam memahami makna-makna kata tertentu, misalkan kata
politik, ketika berbicara tentang kata-kata politik sebagian besar
mahasiswa memahaminya sebagai sebuah tindakan kotor seperti korupsi,
kolusi, nepotisme dan perbuatan buruk lainnya, sehingga ketika mendengar
ada sebuah diskusi yang dilaksanakan oleh sekelompok orang yang berbau
“politik” maka sebagian mahasiswa akan hilang semangatnya untuk
mengikuti diskusi tersebut. Padahal menurut Hans Kelsen bahwa politik
mempunyai dua arti, yaitu sebagai berikut.
a. Politik sebagai etik, yakni berkenaan dengan tujuan manusia atau individu agar tetap hidup secara sempurna.
b. Politik sebagai teknik, yakni berkenaan dengan cara (teknik) manusia atau individu untuk mencapai tujuan.
Ada juga yang mengartikan
bahwa politik adalah seni untuk mencapai suatu tujuan baik secara
konstitusional ataupun non konstitusional, tapi sesungguhnya politik
sangat dibutuhkan oleh setiap orang untuk bersosialisasi bersama orang
lain, oleh karena itu perlu bagi kita semua untuk memahami sesuatu itu
secara kompleks dan mengedepankan nilai-nilai positif. Selain itu dalam
tatanan seperti ini para mahasiswa juga menjadi apatis dengan isu-isu
yang berbau politik, misalkan mahasiswa yang notabenenya sebagai ilmu
kesehatan merasa tidak perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan
hukum, ekonomi, pilitik dan sebagainya, begitu juga sebaliknya jika
mahasiswa FKIP maka akan fakus pada bidangnya, sehingga menyebabkan
kurangnya rasa tanggung jawab untuk ikut menjadi actor dalam mengawasi
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah padahal secara nyata
kebijakan tersebut tidak pro rakyat. karena seorang mahasiswa tidak
hanya dituntut untuk mampu secara akademik dengan IPK tinggi namun juga
mampu dalam memahami dan mengahadapi perkebangan zaman. Boleh saja IPK
tinggi tapi kurang peduli dengan isu-isu yang tidak pro rakyat asalkan
IPK tinggi yang kita dapatkan bukan karena lirikan kilat dan kertas
“keramat” saat ujian tapi murni dan dapat dipertanggung jawabkan. Boleh
saja kita hanya terfokus pada bidang ilmu yang kita tekuni semata, tapi
dengan ilmu tersebut juga gunakan untuk peduli akan isu-isu kerakyatan
karena pada dasarnya setiap disiplin ilmu member ruang untuk itu.
Ketiga, Pengaruh modernisasi dan kecanggihan teknologi.
Kesalahan yang fatal adalah menggunakan setiap kemudahan teknologi
untuk kepentingan pribadi semata. Dalam kategori ini banyak mahasiswa
lebih tertarik untuk tampil trendy dengan pakaian yang hight kuality
dengan model terkini, misalkan beberapa waktu yang lalu sedang
heboh-hebohnya baju batik dengan tekstur klub-klub bola terkenal dunia,
kemudian kita berbondong-bondong mencari baju batik tersebut tanpa
peduli berapapun harganya. Kemudian sebagian kita rela menghabiskan
waktu berjam-jam di warung kopi hanya untuk menikmati layanan media
social yang kini dilengkapi dengan berbagai fitur game terbaru dan
tercanggih sehingga kita melupakan bahwa seharusnya sebagian waktu kita
harus disisihkan untuk mewujudkan tridarma perguruan tinggi.
Keempat, Organisasi lepas landas,
yang saya maksudkan disini bukan organisasinya yang tidak punya arah
dan tujuan, tidak dipungkiri hampir semua organisasi kampus ( bahkan
dimanapun) mempunyai aturan yang mengaturnya, misalnya AD/ART. Namun
yang jadi persoalannya adalah masih banyak dari organisasi tersebut yang
menjadikan AD/ART sebagai formalitas saja dan pengesahannya pun bisa
dianggap sebagai seremonial belaka, betapa tidak AD/ART hanya dibutuhkan
ketika situasi sedang mendesak yang kira-kira bisa merugikan kelompok
tertentu dalam keanggotaannya, misalnya ketika pergantian kepemimpinan,
ketika perseteruan antara sesama, ketika bagian tidak sama-rata, barulah
AD/ART dipedomani dan diagung-agungkan keberadannya, sebaliknya jika tumpok (bagian) sama-rata dan asas disana senang-disini senang
dijalankan maka keputusan yang bertentangan dengan AD/ART pun bisa
dijadikan kesepakatan bersama yang seolah-olah dibenarkan tanpa cela.
Padahal ketika pembahasan AD/ART semuanya saling bersitegang dan
beretorika bahwa “inilah cara yang paling tepat”. Kondisi seperti yang
membuat power dari organisasi tersebut kurang dirasakan sehingga
berdampak pada aspek lainnya hingga tujuan yang dicita-citakan mustahil
terwujud.
Kelima, Figur Sang Pemimpin. Pernah
suatu ketika dalam sebuah rapat tingkat mahasiswa dimana pesertanya
adalah pemimpin-pemimpin organisasi dari berbagai kampus yang
merencanakan untuk mengadakan Aksi dalam menanggapi berbagai isu di
daerah. Ketika rekapitulasi massa dari masing-masing lembaga hampir
sebagian besarnya menjawab : saya tidak berani menjamin berapa anggota
saya yang bisa ikut atau saya hanya menjamin 10 orang (walau
kenyataannya yang datang hanya satu orang). Persoalan ini menurut saya
selain disebabkan karena factor-faktor diatas juga kurangnya sosok
kharismatik dari sang pimpinan, kemampuan dalam merekrut masa sangat
kurang dikarenakan kurangnya kemampuan dalam menyakinkan orang lain
untuk sepakat-searah dalam memperjuangkan cita-cita yang diharapkan.
Keadaan seperti ini bisa jadi disebabkan karena :
- Pemimpin yang dipilih bukan karena kemampuannya tetapi karena tidak ada pilihan lain.
- Pemimpin yang dipilih bukanlah orang yang sudah mengecap pahit-manisnya sebuah organisasi sehingga tidak mampu mengambil keputusan yang cepat dan tepat (walau tidak semuanya )
- Factor senioritas menjadi hal yang tidak kalah pentingnya, dimana ketika yang memimpin adalah orang yang umurnya jauh dibawah kita sehingga memandang sebelah mata.
- Sikap egois, dimana seorang pemimpin kurang bisa menerima perbedaan pendapat.
Keenam, Idealisme yang tergadaikan.
Memang sulit untuk membedakan mana yang benar-benar idealis mana yang
tidak, tetapi sekilas kita bisa melihat dimana disatu sisi mahasiswa
manjadi pengkritik terhadap satu kebijakan disisi lain dia aktor dibalik
kebijakan tersebut. Tidak jarang jabatan sebagai pemimpin lembaga
dikampus dijadikan alat untuk mencapai keuntungan isntan. Belum lagi
ke-tidakmampuan mahasiswa untuk berdiri secara merdeka dengan menjadikan
dirinya sebagai underbow organisasi partai tertentu, hal tersebut
sebenarnya bukan suatu masalah ketika menjadi sayap-sayap organisasi
politik tertentu selama kita manfaatkan untuk mengontrol organisasi
induk untuk tetap berada diatas rel yang memperjuangkan kepentingan
orang banyak, tetapi menjadi soal ketika status “underbow” tersebut
malah menjadi pendukung utama dalam membela kepentingan-kepentingan yang
tidak pro rakyat yang dilakukan oleh organisasi induknya, coba lihat
Mahasiswa sekarangpun banyak yang apatis dengan pergerakan mahasiswa itu
sendiri dan itu bisa terlihat manakala banyak mahasiswa yang menentang
aksi yang dilakukan mahasiswa apalagi aksi demonstrasi yang menurut
mereka sudah tidak relavan dan elagan lagi untuk dilakukan di zaman
modern ini.
Tetapi dalam pemahaman saya bahwa
semuanya haruslah berjalan beriringan. Aksi demontrasi perlu dilakukan
untuk mengabarkan kepada masyarakat bahwa mereka harus sadar telah
terjadinya sebuah permasalahan dan pengambilan kebijakan yang dinilai
tidak pro rakyat. Namun aksi seperti apa? Memang ada kelompok yang
menganggap keberhasilan suatu demontrasi dinilai dari seberapa besar
kerusakan dan kerusuhan yang diakibatkan. Ada juga yang menganggap
mahasiswa harus menujukkan sikap nyata bukan hanya sekedar teriak
“peduli rakyat” dijalanan. Namun dari semua itu ada hal yang lebih
penting yang harus kita pahami bahwa kita harus menghargai pilihan
masing-masing.
Akhirnya, dari beberapa factor yang
penulis sampaikan diatas kiranya menjadi referensi untuk menjawab
keadaan yang sedang dialami oleh kita para mahasiswa saat ini bahwa
penyebab utamanya sebagian besar ada pada internal mahasiswa itu
sendiri, lalu solusi apa yang harus kita tempuh? Jawabannya bisa
beraneka macam tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Namun
penulis mencoba memberikan solusi-solusi yang menurut penulis cocok
walau masih terdapat kekurangan, diantaranya adalah harus ada kemauan
kita dalam merubah sudut pandang terhadap sesuatu hal, selain itu juga
harus dibarengi dengan kemauan untuk mengakui bahwa sebagai mahasiswa
kita menanggung beban sebagaimana diamanahkan oleh tridarma perguruan
tinggi. Pengabdian sebagaimana yang diamanahkan oleh Tridarma Perguruan
tinggi janganlah dipahami hanya sebagai seremonial belaka, pengabdian
yang akan berakhir disaat berakhirnya Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau
sejenisnya tapi jauh daripada itu bahwa pengabdian pada masyarakat
tersebut harus diartikan sebagai serangkaian aktivitas dalam rangka
kontribusi perguruan tinggi terhadap masyarakat yang bersifat kongkrit
dan langsung dirasakan manfaatnya. Aktivitas ini dapat dilakukan atas
inisiatif individu atau kelompok anggota sivitas akademika perguruan
tinggi terhadap masyarakat maupun terhadap inisiatif perguruan tinggi
yang bersangkutan yang bersifat nonprofit (Tidak mencari keuntungan)
yang pada akhirnya bertujuan untuk membawa perubahan pada masyarakat
karena bagaimana pun perubahan pada masyarakat yakni kesejahteraan harus
diusahakan untuk diwujudkan tanpa batas waktu.
Dari beberapa factor yang saya sampaikan
diatas memang terbuka ruang untuk diperdebatkan kebenarannya, namun
faktor-faktor yang telah saya sebutkan diatas saya coba tulis
berdasarkan pengamatan dari lingkugan dimana saya berada yang
semata-mata bertujuan untuk edukatif.
Banda Aceh, 14 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar