Halaman

Rabu, 23 Oktober 2013

Ada Apa dengan Mahasiswa Saat ini?

Untitled-2Oleh : Muslim El Yamany

“Coba perhatikan akhir-akhir ini,  sebagian besar  mahasiswa sudah vakum, padahal mereka sadar bahwa kondisi Aceh yang semraut seperti ini ”, kalimat tersebut dilontarkan salah satu anggota keluarga ketika ngobrol santai bersama keluarga sambil menyaksikan siaran televisi yang sedang mengulas perjalan Akil Mukhtar (Ketua MK) yang sedang dililit kasus suap dan menjadi headline hampir semua harian Nasional, bahkan media internasional pun tak lupa untuk memberitakannya. “coba lihat, mahasiswa kita sekarang seperti kehilangan powernya” lanjut beliau.
Saya hanya tersenyum mendengar kalimat sindiran tersebut tanpa mencoba memberikan pembelaan dengan argument-argumen yang mungkin bisa saya sampaikan. Jam menunjukkan 00.00 wib waktunya istirahat. Namun kalimat tadi seakan mengahantui pikiran hingga saya mencoba mengingat-ngingat perjalanan saya selama ini, membandingkan dari setiap diskusi yang saya lakukan ; baik itu dikos, kampus ataupun warung-warung kopi. Sebenarnya yang menjadi persoalan bukan karena sindiran tadi, tapi lebih kepada rasa ingin tahu saya tentang penyebab vakum tersebut, meski tuduhan itu tidak semuanya benar karena saya yakin masih banyak mahasiswa yang peduli dengan kondisi daerahnya, tapi rasanya juga tidak munafik bahwa kondisi itu juga benar adanya.
Saya mencoba memutar pikiran kira-kira apa penyebab sehingga kondisi mahasiswa saat ini dicap bagaikan badan yang tak bernyawa. Sekedar pengingat, banyak kejadian-kejadian besar di Indonesia bahkan dunia yang di aktori oleh mahasiswa,sebut saja pergerakan mahasiswa pra kemerdekaan sejak tahun 1908-1945 atau pergerakan mahasiswa pasca kemerdekaan hingga tahun 1998 hampir dari semua tinta emas pergerakan mahasiswa tersebut di torehkan oleh para mahasiswa.
Lain laut lain karang, lain dulu lain pula sekarang. Mungkin pepatah tersebut tepat kita gunakan untuk menggambarkan kondisi mahasiswa sekarang, dimana mungkin dulu kondisi zaman tidak secanggih ini dan rasa pedihnya penjajahan juga sangat kental dirasakan. Tapi jika kita kembali kepada tuduhan diatas yang benar adanya, maka menurut saya ada beberapa hal yang manjadi penyebab berkurangnya sikap respect para mahasiswa dalam melihat isu-isu yang berkembang saat ini (khususnya di Aceh) diantaranya adalah :
Pertama, Belenggu IPK, Nilai yang tinggi memang idaman setiap mahasiswa, tapi tentunya harus dibarengi dengan seberapa besar nilai beban moral yang telah kita wujudkan sebagai mahasiswa. Ada yang salah selama ini pada kita mahasiswa yaitu pemikiran bagaimana mendapatkan nilai yang tinggi sementara kondisi sekitar kita lupakan. Sungguh naïf rasanya jika kita hanya mementingkan kepuasan pribadi sementara rakyat awam menjerit-jerti menanggung beban kehidupan kerena kebijakan yang salah.
Kedua, Sempitnya pola pikir. Keadaan seperti ini tidak jauh beda dengan keadaan yang pertama, hanya saja dalam kategori ini mungkin mahasiswa tidak hanya terfokus pada nilai yang tinggi, tapi lebih kepada kurangnya pemahaman sang mahasiswa tersebut dalam memahami makna-makna kata tertentu, misalkan kata politik, ketika berbicara tentang kata-kata politik sebagian besar mahasiswa memahaminya sebagai sebuah tindakan kotor seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan perbuatan buruk lainnya, sehingga ketika mendengar ada sebuah diskusi yang dilaksanakan oleh sekelompok orang yang berbau “politik” maka sebagian mahasiswa akan hilang semangatnya untuk mengikuti diskusi tersebut. Padahal menurut Hans Kelsen bahwa politik mempunyai dua arti, yaitu sebagai berikut.
a. Politik sebagai etik, yakni berkenaan dengan tujuan manusia atau individu agar tetap hidup secara sempurna.
b. Politik sebagai teknik, yakni berkenaan dengan cara (teknik) manusia atau individu untuk mencapai tujuan.
            Ada juga yang mengartikan bahwa politik adalah seni untuk mencapai suatu tujuan baik secara konstitusional ataupun non konstitusional, tapi sesungguhnya politik sangat dibutuhkan oleh setiap orang untuk bersosialisasi bersama orang lain, oleh karena itu perlu bagi kita semua untuk memahami sesuatu itu secara kompleks dan mengedepankan nilai-nilai positif. Selain itu dalam tatanan seperti ini para mahasiswa juga menjadi apatis dengan isu-isu yang berbau politik, misalkan mahasiswa yang notabenenya sebagai ilmu kesehatan merasa tidak perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hukum, ekonomi, pilitik dan sebagainya, begitu juga sebaliknya jika mahasiswa FKIP maka akan fakus pada bidangnya, sehingga menyebabkan kurangnya rasa tanggung jawab untuk ikut menjadi actor dalam mengawasi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah padahal secara nyata kebijakan tersebut tidak pro rakyat. karena seorang mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mampu secara akademik dengan IPK tinggi namun juga mampu dalam memahami dan mengahadapi perkebangan zaman. Boleh saja IPK tinggi tapi kurang peduli dengan isu-isu yang tidak pro rakyat asalkan IPK tinggi yang kita dapatkan bukan karena lirikan kilat dan kertas “keramat” saat ujian tapi murni dan dapat dipertanggung jawabkan. Boleh saja kita hanya terfokus pada bidang ilmu yang kita tekuni semata, tapi dengan ilmu tersebut juga gunakan untuk peduli akan isu-isu kerakyatan karena pada dasarnya setiap disiplin ilmu member ruang untuk itu.
Ketiga, Pengaruh modernisasi dan kecanggihan teknologi. Kesalahan yang fatal adalah menggunakan setiap kemudahan teknologi untuk kepentingan pribadi semata. Dalam kategori ini banyak mahasiswa lebih tertarik untuk tampil trendy dengan pakaian yang hight kuality dengan model terkini, misalkan beberapa waktu yang lalu sedang heboh-hebohnya baju batik dengan tekstur klub-klub bola terkenal dunia, kemudian kita berbondong-bondong mencari baju batik tersebut tanpa peduli berapapun harganya. Kemudian sebagian kita rela menghabiskan waktu berjam-jam di warung kopi hanya untuk menikmati layanan media social yang kini dilengkapi dengan berbagai fitur game terbaru dan tercanggih sehingga kita melupakan bahwa seharusnya sebagian waktu kita harus disisihkan untuk mewujudkan tridarma perguruan tinggi.
Keempat, Organisasi lepas landas, yang saya maksudkan disini bukan organisasinya yang tidak punya arah dan tujuan,  tidak dipungkiri hampir semua organisasi kampus ( bahkan dimanapun) mempunyai aturan yang mengaturnya,  misalnya AD/ART. Namun yang jadi persoalannya adalah masih banyak dari organisasi tersebut yang menjadikan AD/ART sebagai formalitas saja dan pengesahannya pun bisa dianggap sebagai seremonial belaka, betapa tidak AD/ART hanya dibutuhkan ketika situasi sedang mendesak yang kira-kira bisa merugikan kelompok tertentu dalam keanggotaannya, misalnya ketika pergantian kepemimpinan, ketika perseteruan antara sesama, ketika bagian tidak sama-rata, barulah AD/ART dipedomani dan diagung-agungkan keberadannya, sebaliknya jika tumpok (bagian) sama-rata dan asas disana senang-disini senang dijalankan maka keputusan yang bertentangan dengan AD/ART pun bisa dijadikan kesepakatan bersama yang seolah-olah dibenarkan tanpa cela. Padahal ketika pembahasan AD/ART semuanya saling bersitegang dan beretorika bahwa “inilah cara yang paling tepat”. Kondisi seperti yang membuat power dari organisasi tersebut kurang dirasakan sehingga berdampak pada aspek lainnya hingga tujuan yang dicita-citakan mustahil terwujud.
Kelima, Figur Sang Pemimpin. Pernah suatu ketika dalam sebuah rapat tingkat mahasiswa dimana pesertanya adalah pemimpin-pemimpin organisasi dari berbagai kampus yang merencanakan untuk mengadakan Aksi dalam menanggapi berbagai isu di daerah. Ketika rekapitulasi massa dari masing-masing lembaga hampir sebagian besarnya menjawab : saya tidak berani menjamin berapa anggota saya yang bisa ikut atau saya hanya menjamin 10 orang (walau kenyataannya yang datang hanya satu orang). Persoalan ini menurut saya selain disebabkan karena factor-faktor diatas juga kurangnya sosok kharismatik dari sang pimpinan, kemampuan dalam merekrut masa sangat kurang dikarenakan kurangnya kemampuan dalam menyakinkan orang lain untuk sepakat-searah dalam memperjuangkan cita-cita yang diharapkan. Keadaan seperti ini bisa jadi disebabkan karena :
  1. Pemimpin yang dipilih bukan karena kemampuannya tetapi karena tidak ada pilihan lain.
  2. Pemimpin yang dipilih bukanlah orang yang sudah mengecap pahit-manisnya sebuah organisasi sehingga tidak mampu mengambil keputusan yang cepat dan tepat (walau tidak semuanya )
  3. Factor senioritas menjadi hal yang tidak kalah pentingnya, dimana ketika yang memimpin adalah orang yang umurnya jauh dibawah kita sehingga memandang sebelah mata.
  4. Sikap egois, dimana seorang pemimpin kurang bisa menerima perbedaan pendapat.
Keenam, Idealisme yang tergadaikan. Memang sulit untuk membedakan mana yang benar-benar idealis mana yang tidak, tetapi sekilas kita bisa melihat dimana disatu sisi mahasiswa manjadi pengkritik terhadap satu kebijakan disisi lain dia aktor dibalik kebijakan tersebut. Tidak jarang jabatan sebagai pemimpin lembaga dikampus dijadikan alat untuk mencapai keuntungan isntan. Belum lagi ke-tidakmampuan mahasiswa untuk berdiri secara merdeka dengan menjadikan dirinya sebagai underbow organisasi partai tertentu, hal tersebut sebenarnya bukan suatu masalah ketika menjadi sayap-sayap organisasi politik tertentu selama kita manfaatkan untuk mengontrol organisasi induk untuk tetap berada diatas rel yang memperjuangkan kepentingan orang banyak, tetapi menjadi soal ketika status “underbow” tersebut malah menjadi pendukung utama dalam membela kepentingan-kepentingan yang tidak pro rakyat yang dilakukan oleh organisasi induknya, coba lihat Mahasiswa sekarangpun banyak yang apatis dengan pergerakan mahasiswa itu sendiri dan itu bisa terlihat manakala banyak mahasiswa yang menentang aksi yang dilakukan mahasiswa apalagi aksi demonstrasi yang menurut mereka sudah tidak relavan dan elagan lagi untuk dilakukan di zaman modern ini.
Tetapi dalam pemahaman saya bahwa semuanya haruslah berjalan beriringan. Aksi demontrasi perlu dilakukan untuk mengabarkan kepada masyarakat bahwa mereka harus sadar telah terjadinya sebuah permasalahan dan pengambilan kebijakan yang dinilai tidak pro rakyat. Namun aksi seperti apa? Memang ada kelompok yang menganggap keberhasilan suatu demontrasi dinilai dari seberapa besar kerusakan dan kerusuhan yang diakibatkan. Ada juga yang menganggap mahasiswa harus menujukkan sikap nyata bukan hanya sekedar teriak “peduli rakyat” dijalanan. Namun dari semua itu ada hal yang lebih penting yang harus kita pahami bahwa kita harus menghargai pilihan masing-masing.
Akhirnya, dari beberapa factor yang penulis sampaikan diatas kiranya menjadi referensi untuk menjawab keadaan yang sedang dialami oleh kita para  mahasiswa saat ini bahwa penyebab utamanya sebagian besar ada pada internal mahasiswa itu sendiri, lalu solusi apa yang harus kita tempuh? Jawabannya bisa beraneka macam tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Namun penulis mencoba memberikan solusi-solusi yang menurut penulis cocok walau masih terdapat kekurangan, diantaranya adalah harus ada kemauan kita dalam merubah sudut pandang terhadap sesuatu hal, selain itu juga harus dibarengi dengan kemauan untuk mengakui bahwa sebagai mahasiswa kita menanggung beban sebagaimana diamanahkan oleh tridarma perguruan tinggi. Pengabdian sebagaimana yang diamanahkan oleh Tridarma Perguruan tinggi janganlah dipahami hanya sebagai seremonial belaka, pengabdian yang akan berakhir disaat berakhirnya Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau sejenisnya tapi jauh daripada itu bahwa pengabdian pada masyarakat tersebut harus diartikan sebagai serangkaian aktivitas dalam rangka kontribusi perguruan tinggi terhadap masyarakat yang bersifat kongkrit dan langsung dirasakan manfaatnya. Aktivitas ini dapat dilakukan atas inisiatif individu atau kelompok anggota sivitas akademika perguruan tinggi terhadap masyarakat maupun terhadap inisiatif perguruan tinggi yang bersangkutan yang bersifat nonprofit (Tidak mencari keuntungan) yang pada akhirnya bertujuan untuk membawa perubahan pada masyarakat karena bagaimana pun perubahan pada masyarakat yakni kesejahteraan harus diusahakan untuk diwujudkan tanpa batas waktu.
Dari beberapa factor yang saya sampaikan diatas memang terbuka ruang untuk diperdebatkan kebenarannya, namun faktor-faktor yang telah saya sebutkan diatas saya coba tulis berdasarkan pengamatan dari lingkugan dimana saya berada yang semata-mata bertujuan untuk edukatif.
Banda Aceh, 14 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar