
Melaju santai dari Kost tercinta dengan mengendarai sepeda motor tua bersama seorang teman menuju arah perkotaan. Jalanan terasa begitu sesak, dari atas kendaraan muda mudi saling berpelukan layaknya suami istri. Maklum, malam ini malam minggu, malam panjang kata para kaula muda, sehingga harus benar-benar di nikmati. Pemandangan semakin kontras ditemani dinginnya malam, kami terus melaju santai ke arah simpang Surabaya dengan tujuan Taman Sari yang berada di pusat kota Banda Aceh, persisnya di depan kantor Walikota Banda Aceh dan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh.
Sesampainya kami disana ternyata
Taman Sari sesak dengan lautan manusia, mulai dari anak kecil, remaja
hingga tua renta, akhirnya kami putuskan untuk menuju Stui, kira-kira 1
km dari taman sari, tepatnya di Dapur Ummi, sebuah warkop yang
menyediakan Wifi, setelah beberapa saat berselancar didunia maya,
akhirnya kami bergerak santai menyisir semrautnya kota Banda Aceh
dimalam hari, terutama malam minggu.
Akhirnya kami tiba di daerah yang
sangat terkenal dengan Kopinya, ya, Ulee Kareng, sentralnya Warung Kopi
Aceh. Entah salah alamat atau tidak, dengan pakaian kemeja yang biasa
saya gunakan untuk pergi kekampus dan untungnya bawahan yang ku kenakan
Jeans pudar warisan abang ku yang nomor dua-Sebagai anak kos aku
termasuk orang yang kurang serius untuk berleha-leha dengan pakaian
baru, yang penting menutup aurat-itu bukan suatu masalah yang penting
jeans, ketimbang teman saya dengan balutan kemeja lusuh warna hitam di
badannya plus celana kain hitam mirip pengunjung pemakaman. Tapi tak
soal, seperti kata ku tadi, malam minggu harus dinikmati.
Akhirnya kami putuskan untuk mampir
disalah satu Cafee, sebut saja Cafee Putroe ( Samaran-red) setelah
memarkirkan kendaraan tua kami, dengan santai kami menuju ruang
belakang Cafee Putroe. Dari kejauhan sayup-sayup musik terdengar merayu
para pelanggannya agar betah disana. Setelah mengambil posisi kami pun
memesan satu Botol Tebs plus kerasnya suara musik yang merayu
Asap rokok mengepul seantero
ruangan, kerasnya suara musik membuat aku harus sedikit mengencangkan
suara untuk bisa berinteraksi dengan kawan yang berjarak 10 cm disebelah
kanan saya. Di depan agak sedikit kekanan saya tiga orang waria duduk
santai, satunya asyik menghisap sebatang Mild, satunya lagi asyik
memencet tombol handphone diikuti sedikit senyum mengambang, entah apa
yang sedang terjadi disana,hanya dia dan sang Pencipta yang tahu,
satunya lagi asyik menikmati lantunan musik bernada Rock sambil sesekali
menggeleng-gelengkan kepalanya .
“pacarku emang dekat, lima langkah
dari rumah….” begitu penggalan lagu lantun seorang wanita, jika dilihat
dari wajah sudah bisa diprediksi jika ia sudah berkepala tiga, namun
dari postur tubuh dan gaya kostum tidak kalah dengan para gadis-gadis
pada umumnya. Memang terdapat beberapa wanita yang sudah tidak muda
lagi, ada yang masih berpakaian sedikit sopan, ada pula yang semrautan
alias melanggar norma. Tak hanya itu saja, para gadis muda nan anggun
tak luput menikmati syahdunya musik “goyang senggol” yang sedang
menggema.
Ada hal menarik disana, suasana
berbalik seratus persen. Gadis renta disana tidak ditemani oleh pemuda
renta juga tapi mereka ditemani oleh lelaki perkasa pemuda tanggung.
Sebaliknya para gadis muda ditemani “pemuda renta”, aku berpikir entah
memang selera mereka seperti itu atau hanya kebetulan saja, namun
begitulah faktanya. Lantunan music terus bergema dengan judul lagu yang
berbeda.
Sejenak hiruk pikuk lantunan music
berhenti, bukan karena tempat itu akan ditutup karena larutnya malam,
tapi sang Vokalis memanggil seseorang yang disebut “Ayah”. Ternyata
panggilan itu tidak salah alamat, dari tengah ruangan seorang kakek
perkasa dengan balutan kemeja hitam dipadu dengan celana kain tua warna
krim mirip celana Pak Geucik dikampung saya plus Topi tua dua warna
‘Hitam dan Putih’ bergegas menuju panggung utama, setelah berbisik
dengan operator Keyboard musik pun bergema. Sesuai dengan umurnya,
nyanyiannya pun sesuai porsi umurnya, dengan sedikit goyang-mungkin
karena faktor usia- ia terus hanyut dalam lantunan syahdunya.
Jarum jam terus bergerak, namun
hiruk pikuk di Cafee Putroe belum juga ada tanda-tanda akan sunyi, malah
sebaliknya, suasana semakin ramai, ini sedikit kisah dibumi Serambi
Mekkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar