Halaman

Kamis, 24 Oktober 2013

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBAHASAN QANUN DI KOTA BANDA ACEH


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Permasalahan
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan salah satu syarat mutlak dalam era reformasi ini. Pengabaian terhadap faktor ini telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itulah pelibatan dalam proses legislasi atau penyusunan produk hukum wajib terjadinya pelibatan masyarakat di dalamnya[1].
Proses pelibatan partisipasi masyarakat dalam implementasi program Legislasi Daerah terbukti telah berhasil membawa perubahan mendasar dalam peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Pembangunan hukum lebih berorientasi pada masyarakat, yang tercermin melalui pengoptimalan keterlibatan masyarakat dalam rangkaian penyusunan Peraturan Daerah, di Aceh di kenal dengan Qanun. Ini perlu diyakini oleh aparatur Pemerintah Baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota sebagai strategi yang tepat untuk menggalang militansi kesadaran masyarakat terhadap ketaatan pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum.
Qanun dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antar jenis dan materi muatan, keterlaksanaan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan (Pasal 236 UUPA).[2]
Dalam penjelasan Qanun Nomor 3 Tahun 2007 disebutkan bahwa untuk mewujudkan pembangunan hukum dan tertib pemerintahan di Aceh diperlukan pembentukan peraturan perundang-undangan sejak perencanaan sampai dengan pengundangan. Untuk mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan peraturan perundang-undangan lain perlu dibentuk qanun berkualitas dan partisipatif dengan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pemberlakuannya.[3]
Dalam Pasal 1 angka 14 Qanun No.3 Tahun 2007 disebutkan Qanun Kabupaten/ Kota adalah Peraturan Perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.
Qanun dibentuk berdasarkan asas pembentukan Paraturan Perundang-undangan yang meliputi kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, keterlaksanaan, kedayagunaan, kehasil gunaan, kejelasan rumusan, keterbukaan dan keterlibatan publik (Pasal 2 Ayat (1) Qanun Aceh No.3 Tahun 2007). Pembentukan Qanun tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, kepentingan umum, qanun lainnya dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 2 Ayat (2) Qanun Aceh No.3 Tahun 2007)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan landasan yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Undang-Undang ini memuat secara lengkap pengaturan baik menyangkut sistem, asas, jenis dan materi muatan, proses pembentukan yang dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Tertib pembentukan peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah, diatur sesuai dengan proses pembentukan dari jenis dan hirarki serta materi muatan peraturan perundang-undangan.[4]
Dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menggariskan materi muatan Qanun adalah seluruh materi muatan dalam rangka: (a) penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; (b) menampung kondisi khusus daerah; serta (c) penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari segi materi muatan, Qanun adalah peraturan yang paling banyak menanggung beban. Sebagai peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan,[5].
Pasal 239 Ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa :
(1)      Rancangan qanun dapat berasal dari DPRA, Gubernur dan DPRK, atau Bupati/Walikota.
(2)      Apabila dalam satu masa sidang, DPRA atau Gubernur dan DPRK atau bupati/walikota menyampaikan rancangan qanun mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan qanun yang disampaikan oleh DPRA/DPRK, sedangkan rancangan qanun yang disampaikan Gubernur dan Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
(3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan qanun yang berasal dari Gubernur dan Bupati/Walikota diatur dengan qanun.
Untuk melaksanakan ketentuan tersebut maka dikeluarkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, ini merupakan acuan yang harus diikuti oleh Pemerintah Aceh, Kabupaten/Kota dalam melahirkan qanun, rancangan qanun atas usulan legislatif atau eksekutif yang diusulkan dari SKPD, harus melibatkan masyarakat.
Pasal 238 Undang-Undang Pemerintah Aceh menyebutkan bahwa :
(1)      Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun.
(2)      Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik.
Selain itu penyusunan qanun yang berkualitas dalam Pasal 2 Ayat (1) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 disebutkan bahwa qanun dibentuk berdasarkan asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Asas pembentukan peraturan perundangan-undangan tersebut meliputi diantaranya adalah keterbukaan dan keterlibatan publik. Keterlibatan publik dalam proses pembentukan qanun tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 23 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 sebagai berikut:
(1)      Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik
(2)      Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun.
(3)      Masyarakat dalam memberi masukan harus menyebutkan identitas secara lengkap.
(4)      Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat pokok-pokok materi yang diusulkan.
(5)      Masukan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diagendakan dalam rapat penyiapan atau pembahasan rancangan qanun
Keterlibatan partisipasi masyarakat  dalam pembentukan qanun ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Friedrich Karl von Savigny yang menyatakan bahwa hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Hukum bukan merupakan konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan sosial.[6] Sehingga hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), dengan kata lain adalah pembentukan hukum tersebut haruslah dimulai dari bawah (buttom up) yaitu sesuai dengan aspirasi dari masyarakat melalui ruang partisipasi publik.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan ilustrasi diatas, maka dapat di identifikasikan masalahnya sebagai berikut:
  1. Apakah keterlibatan masyarakat dalam pembentukan Qanun Kota Banda Aceh No.4 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029 sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku?
  2. Kendala apa saja yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Banda Aceh terhadap  partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan Qanun Kota Banda Aceh No.4 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029?
C. Tujuan Penulisan
      Adapun Tujuan penulisan makalah ini  adalah :
1.   Untuk mengetahui tentang pelibatan masyarakat terhadap Pembentukan Qanun Kota Banda Aceh No.4 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029.
2.   Untuk memahami kendala apa saja dalam pelibatan masyarakat terhadap Pembentukan Qanun Kota Banda Aceh No.4 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029.
D. Metodelogi Penulisan
Untuk memperoleh hasil yang tepat, kiranya metodelogi penulisan menjadi pennting. Untuk dalam penyajian makalah ini, penulis menggunakan pendekatan/ metodelogi Fiel Reseach dan Library Reasech. 
Fiel Reseach dilakukan dengan melakukan observasi dan wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembentukan qanun dalam hal ini terdiri dari Unsur Bagian Hukum, Sekretariat DPRK atau panitian Legislasi di DPRK Banda Aceh. Sedangkan metode library reseach dilakukan dengan mengkaji aturan-aturan hukum normatif yang kemudian dianilsis. Atau dengan kata lain melakukan pendekatan study normatif.
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Pengertian Partisipasi Masyarakat
Istilah partisipasi (participation) seringkali istilah tersebut diasumsikan hanya sebagai kontribusi financial, material, dan tenaga dalam suatu program. Kadang juga diberi pengertian sebagai self-help, self reliance, cooperation dan local autonomy dimana istilah-istilah tersebut kurang menggambarkan apa yang dimaksud dengan partisipasi itu sendiri. Self-help, self reliance dan local autonomy menggambarkan kondisi akhir yang diharapkan dari suatu program yang memakai pendekatan partisipatif. Cooperation menunjukkan cara bagaimana partisipasi masyarakat diimplementasikan pada suatu kegiatan atau program.[7]
Bank dunia memberikan batasan partisipasi masyarakat sebagai: (1) keterlibatan masyarakat yang terkena dampak pengambilan keputusan tentang hal-hal yang harus dikerjakan dan cara mengerjakannya, (2) keterlibatan tersebut berupa kontribusi dari masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan yang telah diputuskan dan (3) bersama-sama memamfaatkan hasil program sehingga masyarakat mendapatkan keuntungan dari program tersebut.[8]
Dapat disimpulkan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan hukum adalah; “Suatu proses keterlibatan yang bertanggung jawab dalam suatu kegiatan yang merupakan suatu unit kegiatan (unit of action) dalam proses pengambilan keputusan, kontri busi dalam pelaksanaannya dan pemamfaatan hasil kegiatan, sehingga terjadi peningkatan kamampuan kelompok tersebut dalam mempertahankan perkembangan yang tercapai secara mandiri. Dalam pengertian partisipasi tercakup dua system dalam suatu  kegiatan. Kedua system adalah system pemerintah yang merupakan icon pembuat regulasi dan sistem masyarakat dipihak lain.
Kedua pihak secara fungsional sering mempuyai karakteristik dan pandangan yang sangat berbeda dalam konteks partisipasi. Berdasarkan pandangan bahwa semua program pengembangan masyarakat adalah sama dengan pengembangan kelompok masyarakat pedesaan yang miskin (rurar poor community). Pandangan ini sering ada pada sudut pandang pemerintah atau provider, partisipasi masyarakat seolah-olah merupakan kewajiban yang harus diemban oleh masyarakat yang mendapat bantuan. Dalam keadaan tersebut, masyarakat tidak mempunyai otoritas terhadap kegiatan karena semuanya telah diatur dan dijadwalkan oleh pemberi kegiatan.
Dipihak lain masyarakat menyatakan bahwa program pengembangan itu dapat pada siapa saja, tidak peduli apakah kelompok sasaran tersebut merupakan kelompok masyarakat pedesaan yang miskin atau kelompok masyarakat di kota yang sudah cukup dari segi ekonomi. Pendapat itu menganggap bahwa partisipasi merupakan hak dari masyarakat. Masyarakat boleh menggunakan atau tidak menggunakan “hak” tersebut dalam suatu kegiatan yang diadakan oleh pemberi kegiatan. Apa bila pemberi kegiatan menginginkan partisipasi masyarakat, diperlukan pendekatan tertentu untuk mendapatkannya.[9]
Peter Oakley dan David Marsden menyimpulkan bahwa banyaknya variasi dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat disebabkan oleh setiap batasan menonjolkan dimensi yang berbeda dari partisipasi masyarakat. Satu pendapat menyatakan bahwa jika ada keterlibatan dari masyarakat, bagaimanapun bentuk dan prosesnya, maka dikatakan bahwa masyarakat telah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Hal itu memang tidak keliru tetapi masih kurang tepat karena hanya melihat aspek kuantitatif dari partisipasi. Implementasi pendapat itu sering berupa mobilisasi sumber daya masyarakat dalam suatu kegiatan tanpa masyarakat tahu apa tujuan kegiatan tersebut dan keuntungan apa yang akan diperoleh dengan keterlibatannya.
Batasan lain menyatakan bahwa secara konseptual, partisipasi terjadi apabila telah ada pembangian ulang kekuasaan (redistribution of power) dalam menentukan pelaksanaan kegiatan tersebut antara penyedia kegiatan (provider) dengan masyarakat. Namun ada juga yang mengatakan bahwa wewenang dalam pengambilan keputusan hanyalah salah satu komponen dari yang disebut sebagai partisipasi. Kontribusi tenaga kerja, material dan finansial juga merupakan komponen dari partisipasi di samping komponen lain (Uphoof & Cohen, 1979)[10]
Ann Seidman Robert B mengemukakan Konsep Teori Responsif[11] berkaitan dengan Partisipasi masyarakat. Beliau mengemukakan bahwa;”pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the stakholders (pihak yang mempunyai kepentingan) memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintah.
Pengertian partisipasi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian partisipasi politik yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson yaitu bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Philipus M. Hadjon mengemukakan konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peran serta dalam kegiatan-kegiatan pemerintah. Menurut Philipus M. Hadjon keterbukaan baik ”openheid” maupun ”openbaar-heid” sangat penting artinya bagi pelaksanaan pemerintah yang baik dan demokratis. Dengan demikian keterbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak.
Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon bahwa sekitar tahun 1960-an muncul suatu konsep demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan. Dalam konsep demokrasi, asas keterbukaan datau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam bukunya yang berjudul ”Beginselen van de democratische reschsstaat” yang intinya[12]:
1.   pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam pemilihan yang bebas dan rahasia;
2.   pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
3.   setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
4.   badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan melalui sarana ”mede beslissing-recht” (hak untuk ikut memutuskan dan atau melalui wewenang pengawas);
5.   asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan yang terbuka;
6.   dihormatinya hak-hak kaum minoritas;
Menurut Sad Dian Utomo mamfaat partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk dalam pembuatan Perda adalah:
1)   memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik
2)   memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik
3)   meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif
4)   efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.
Sesuai dengan negara hukum, maka partisipasi masayarakat dalam penyusunan Perda/qanun mesti diatur secara jelas dalam suatu aturan tertentu. Menurut Bagir Manan sendi utama negara hukum adalah hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat ataun antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lain. Hukum mempunyai dua pengertian yakni hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.[13]
B. Mekanisme Partisipasi Masyarakat
Dalam BAB VI Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 Pasal 23 dijelaskan bahwa berikut :
(1) Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik.
(2) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan Qanun.
(3) Masyarakat dalam memberikan masukan harus menyebutkan identitas secara lengkap
(4) Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membuat pokok-pokok materi yang diusulkan
(5) Masukan dari masyarakat sebagimana dimaksud pada ayat (2) diagendakan dalam rapat penyiapan atau pembahasan rancangan qanun.
Mekanisme pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya diatur sebagai berikut (Pasal 25 ayat (1)) :
a. pada fase penyiapan prarancangan qanun oleh pemrakarsa pada masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau oleh Anggota/ Komisi/Gabungan Komisi/ Panitia Legislasi DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
b. pada fase pembahasan oleh Tim Asistensi yang dibentuk oleh Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 melalui forum rapat dengar pendapat;
c. pada fase pelaksanaan seminar akademik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
d. pada fase pembahasan oleh DPRA/DPRK, sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan dalam Tata Tertib DPRA/DPRK.
Lebih lanjut ayat (2) menjelaskan: mekanisme pelibatan dan partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan antara lain melalui Forum Seminar, Lokakarya, Fokus Grup Diskusi, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan bentuk-bentuk penjaringan aspirasi publik lainnya.
Mekanisme pelibatan dan partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyebaran draft pra rancangan qanun dan jadwal pembahasan kepada masyarakat.(Pasal 25 ayat (3) Qanu Aceh No.3 Tahun 2007)
Masa Partisipasi masyarakat ditetapkan dalam jadwal kegiatan pada setiap fase penyiapan dan pembahasan pra rancangan qanun/rancangan qanun (Pasal 25 ayat (4) Qanu Aceh No.3 Tahun 2007).
Masukan yang diberikan oleh masyarakat melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 paling lama 7 (tujuh) hari sejak dilakukan penyebarluasan sudah harus disampaikan kepada DPRA/DPRK atau Gubernur/Bupati/Walikota untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penyempurnaan materi rancangan qanun (Pasal 26 Qanun Aceh No.3 Tahun 2007)
BAB III
PEMBAHASAN
A.   Kebijakan Pemerintah Kota Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Qanun No.4 Tahun 2009
Qanun Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 25 mekanisme pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya sebagai berikut:
a. pada fase penyiapan prarancangan qanun oleh pemrakarsa pada masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau oleh Anggota/ Komisi/Gabungan Komisi/ Panitia Legislasi DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
b. pada fase pembahasan oleh Tim Asistensi yang dibentuk oleh Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 melalui forum rapat dengar pendapat;
c. pada fase pelaksanaan seminar akademik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
d. pada fase pembahasan oleh DPRA/DPRK, sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan dalam Tata Tertib DPRA/DPRK.
Proses pembentukan qanun berpedoman pada asas-asas perundang-undangan yang baik maka ada beberapa ciri atau syarat-syarat yang perlu mendapat perhatian dalam proses pembentukan qanun, yaitu asas kejelasan tujuan, asas manfaat, asas kewenangan, asas kesesuaian, asas dapat dilaksanakan, asas kejelasan rumusan, asas keterbukaan, asas efisiensi,  dan asas-asas materi muatan.  Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas untuk apa peraturan perundang-undangan tersebut dikeluarkan.
Pembentukan qanun baik yang berasal dari legislatif maupun yang berasal dari eksekutif dilakukan melalui beberapa tahapan. Adapun tahapan pembentukan qanun sama dengan tahapan penyusunan peraturan perundang-perundangan yang lain meliputi perencanaan, perancangan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, pelaksanaan, dan evaluasi. Ruang partisipasi bagi masyarakat harus ada di setiap tahapan tersebut. Dengan demikian diharapkan akan lahir qanun yang partisipatif, masyarakat yang kritis, dan pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan sosial (society need).
Partisipasi masyarakat merupakan wujud demokrasi dimana kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga harusnya dalam setiap proses politik, rakyat berhak untuk mengetahui, berpendapat, berperan serta, dan bereaksi positif maupun negatif terhadap segala kebijakan pemerintah sesuai dengan hati nurani masyarakat.[14]
Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai hasil dari proses kebijakan harus didasarkan pada kepentingan orang banyak atau masyarakat sebagai pemangku kepentingan (stake holders) dan tentu saja membutuhkan partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung dalam setiap prosesnya. Namun realitas yang ada, keterlibatan masyarakat dalam kerangka kedaulatan rakyat, demokrasi konstitusional masih jauh dari yang seharusnya. Masyarakat belum sampai pada tahapan civil society dimana masyarakat mampu mempengaruhi dan mengawasi proses kebijakan publik.[15]
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pembentukan qanun/qanun antara lain; dilakukannya Rapat Dengar Pendapat Umum atau rapat-rapat lainnya yang bertujuan menyerap aspirasi masyarakat, dilakukannya kunjungan oleh anggota DPRK untuk mendapat masukan dari masyarakat, ataupun diadakannya seminar-seminar atau kegiatan yang sejenis dalam rangka melakukan pengkajian atau menindak lanjuti berbagai penelitian untuk menyiapkan suatu Rancangan Qanun.
Dalam pelaksanaannya kadang masih terdapat berbagai penafsiran tentang siapa yang dimaksud dengan istilah masyarakat. Masyarakat adalah setiap orang pada umumnya terutama masyarakat yang ”rentan” terhadap peraturan tersebut, setiap orang atau lembaga terkait, atau setiap lembaga swadaya masyarakat yang terkait.[16]
Masyarakat Sipil menurut Robert N. Bellah terbentuk melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.   Masyarakat alam yaitu masyarakat tanpa aturan/bebas untuk bertindak tanpa terikat aturan hukum.
2.   Masyarakat politik yaitu masyarakat yang terikat oleh kepentingan kekuatan politik kelompok/negara.
3.   Masyarakat sipil yaitu masyarakat yang mempunyai kedaulatan untuk membuat, mempengaruhi, dan mengawasi kebijakan umum, dan semua masyarakat kedudukannya sama di muka hukum.[17]
Cara mewujudkan masyarakat sipil tersebut adalah melalui demokrasi. Sebab demokrasi menjamin kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi. Partisipasi[18] berarti ada peran serta atau keikutsertaan dalam mengawasi, mengontrol dan mempengaruhi masyarakat dalam suatu kegiatan pembentukan peraturan mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan peraturan daerah. Oleh sebab itu partisipasi masyarakat termasuk dalam kategori partisipasi politik.[19]
Apapun konsep partisipasi yang diterapkan oleh pemerintah, setidaknya keterlibatan masyarakat dapat memberikan legitimasi terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan menimbulkan kepercayaan adanya keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat.
Peran partisipasi masyarakat di Kota Banda Aceh  dalam pembentukan qanun  secara yuridis terakomodir dalam Pasal 238 Ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan bahwa Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun dan dalam setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik. Selanjutnya dalam Pasal 23 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun yang menyebutkan bahwa :
(6)      Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik
(7)      Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun.
(8)      Masyarakat dalam memberi masukan harus menyebutkan identitas secara lengkap.
(9)      Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat pokok-pokok materi yang diusulkan.
(10)  Masukan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diagendakan dalam rapat penyiapan atau pembahasan rancangan qanun
Mekanisme pembuatan kebijakan daerah dalam bentuk Qanun Kota Banda Aceh dimulai dari proses Prolek sebagai instrumen perencanaan program pembentukan qanun, dalam hal ini Tim Prolek Eksekutif dan Tim Prolek Legislatif duduk bersama untuk menetapkan Daftar Prioritas Prolek Masa Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) dan Daftar Prioritas Prolek setiap tahun, dalam daftar Prolek tersebut terangkum rancangan qanun yang menjadi usul inisiatif legislatif dan yang menjadi usul inisiatif dari eksekutif.
Menurut Nani,[20] pelaksanan (Prolek) baru mulai dilaksanakan pada tahun 2008 sebagaimana tercantum dalam Keputusan DPRK Banda Aceh Nomor 5  Tahun 2008 tentang Program Legislasi Kota Masa Keanggotaan 2004-2009 dan Keputusan DPRK Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2008 tentang Daftar Rancangan Qanun Prioritas Tahun Anggaran 2008.
Pengajuan rancangan qanun yang berasal dari eksekutif langsung diajukan kepada ke DPRK melalui surat pengantar Walikota Banda Aceh kepada Ketua DPRK, dimana pembahasan qanun di tingkat legislatif tidak melalui Prolek.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Kota Banda Aceh selama terlibat dalam Tim Asistensi Qanun sejak tahun 2008 sampai tahun 2009,  ruang partisipasi masyarakat dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut :
- Pemerintah mempublis jadwal setiap pembahasan Rancangan Qanun melalui Wibesite  Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum yang dikelola oleh Bagian Hukum Setda Kota Banda Aceh.
- Pemerintah Kota Banda Aceh melakukan Hearing Pendapat dengan Stakholder terhadap pembentukan Rancangan Qanun sebelum di sahkan mejadi Qanun.
- Pemerintah Kota Banda Aceh menjaring partisifasi masyarakat lewat Workshop, Semiloka, Focus Group Discussion (FGD) terkait Ranqanun yang akan di bahas bersama DPRK
- Pemerintah Kota Banda Aceh mempublis Raqan tersebut pada Wibesite Pemko dan Wibsite Jaringan Dokumentasi Hukum atau Harian Serambi Indonesia untuk diminta masukan kepada masyarakat selama 7 hari sejak Rancangan qanun tersebut di publis,
Menurut Nizwar,[21] penetapan prolek tersebut dilalui melalui tahapan sebagai berikut:
7.   Rapat Internal Prolek eksekutif
8.   Workshop penjaringan informasi dari SKPD
9.   Rapat kerja Internal eksekutif
10.        Rapat Kerja Antara Panleg dan Walikota
11.        Rapat Kerja Antara Panleg dan Walikota (Pembahasan draft)
12.        Konsultasi public
13.        Rapat Kerja Antara Panleg dan Walikota (Penyepakatan dan pembahasan rancangan)
14.        Laporan Panleg kepada Paripurna
15.        Penetapan Panlek
Menurut Edi Saputra,[22] ruang partisipasi Publik tetap di buka melalui Wibesite Pemerintah Kota Banda Aceh dan Wibesite Jaringan Dokumentasi Hukum dan MIMS (Manajemen Informasi Sistem).
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengamanatkan "Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah". Pasal ini merupakan landasan bagi eksistensi perlunya suatu perencanaan pembentukan produk hukum qanun yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis.
Amanat tersebut diperkuat dan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam Pasal 35. Dalam pasal tersebut dinyatakan “Tugas Panitia Legislasi sebagai pusat perencanaan pembentukan qanun adalah menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan qanun untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan prioritas setiap tahun anggaran, yang selanjutnya dilaporkan dalam Rapat Paripurna untuk ditetapkan dengan keputusan DPRA/DPRK.” Tidak adanya penetapan qanun pajak dan retribusi daerah melalui prolek menyebabkan tidak adanya ruang partisipasi masyarakat dalam tahap perencanaan qanun, sebab dalam tahapan pelaksanaan prolek ini konsultasi publik prolek merupakan wadah peran masyarakat dalam pelaksanaan pembentukan qanun.
Partisipasi Publik didefinisikan sebagai aktivitas oleh warga Negara untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan oleh pemerintah.[23] Partisipasi Publik atau dengan sebutan masyarakat/ warga Negara  dilaksanakan agar setiap kebijakan yang dihasilkan tidak hanya menimbulkan dampak positif, manfaat bagi sekelompok masyarakat tertentu saja, tapi dapat memberikan dampak positif bagi kelompok masyarakat lainnya. Berbicara partisipasi Publik maka setiap warga Negara mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, akan tetapi kiranya hal ini akan merepotkan untuk itu pembentuk peraturan perundang-undangan  kiranya dapat membatasi.
Terkait dengan pembentukan qanun, Pemerintah dalam hal ini perlu memberikan tekanan khusus bagi beberapa kelompok masyarakat yaitu :[24]
a.    Kelompok marginal (kaum miskin, kaum cacat, anak-anak dan perempuan)
 b. Kelompok yang terkena dampak langsung dari peraturan.
          Kepastian keterlibatan Publik dalam pembentukan qanun selain diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, secara khusus di Aceh dipertegas kembali dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006, pada pasal 238 ayat (2) menyatakan bahwa setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik, lebih jauh lagi jaminan ketersediaan ruang partisipasi publik dalam pembentukan qanun diatur secara khusus dalam Bab IV Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007.
Partisipasi masyarakat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur pada Bab X pasal 53 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Penjelasan Pasal 53 itu menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Senada dengan hal tersebut, dalam Pasal 139 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah juga terdapat ketentuan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Qanun. Penjelasan Pasal 139 (1) tersebut menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. Dari bunyi pasal 53 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dan pasal l39 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, serta Penjelasannya dapat diketahui bahwa:
1.   Masyarakat berhak memberikan masukan dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Qanun;
2.   Masukan masyarakat tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tertulis; dan
3.   Hak masyarakat tersebut dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Partisipasi masyarakat dalam penyusunan qanun merupakan hak masyarakat, yang dapat dilakukan baik dalam tahap penyiapan maupun tahap pembahasan. Dalam konteks pemungutan pajak dan retribusi daerah, setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban Pemerintahan Daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan qanun tersebut.
B. Kendala yang dihadapi dalam partisipasi Masyarakat terhadap Proses Pembentukan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh 2009-2029.
Proses pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembentukan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh 2009-2029 merupakan sesuatu yang amat penting demi keberlangsungan hukum. Sehingga dengan ruang partisipasi publik ini, diharapkan nantinya qanun tersebut betul-betul berjalan sesuai keinginan. Dalam tatanan hukum, partisifasi masyarakat adalah sesuatu yang amat penting. Hal ini dapat dilihat dengan lahirnya Undang-Undang yang berkaitan dengan Partisipasi Publik, ini menandakan sebuah proses demokrasi yang baik dalam pembentukan hukum kedepan. Akan tetapi partisipasi masyarakat (partisipasi publik) bukanlah sesuatu hal yang tanpa kendala. Ini dikarenakan aturan yang memerintahkan berkaiatan partisipasi masyarakat tidak ada sanksi yang tegas berkaitan dengan ruang partisipasi masyarakat. Maka dari itu terkadang eksekutif dan legislatif mengabaikan atau menganggap ruang partisipasi masyarakat hanya dijadikan sebagai pelengkap saja atau dengan bahasa lain dijadikan sebagai upaya untuk menjalankan mekanisme sebagaimana yang diamanahkan oleh undang-undang.
Berdasarkan hasil kajian selama terlibat dalam Tim Asistensi Qanun  Pemerintah Kota Banda Aceh dapat disimpulkan kendala dimaksud sebagai berikut:
  1. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pembuatan qanun
  2. Timbulnya budaya pesimis terhadap masyarakat akan pentingnya partisifasi publik
  3. Masyarakat merasa apa yang disampaikan tidak di tindak lanjuti oleh pengambil kebijakan.
  4. Responsibilitas masyarakat yang kurang.
  5. Masyarakat tidak mengetahui mekanisme penyaluran aspirasi.
  6. Masyarakat jarang membuka Wibesite Pemko atau saluran informasi leawat jalur  “Wibesite” hanya di lakukan oleh segelintir orang.
  7. Adanya ketentuan partisipasi yang tidak mengikat karena tidak adanya sanksi atas pengabaiannya.
 


BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan penting antara lain:
1.   Ruang partisipasi masyarakat sangat berguna demi terciptanya epektifitas terhadap pemberlakuan qanun.
2.   Pemerintah Kota Banda Aceh telah berusaha membuka ruang partisipasi masyarakat melalui media massa dan elektronik (Harian Serambi Indonesia, Wibesite Pemko dan Wibesite Jaringan Dokumetasi & Informasi Hukum serta MIMS (Manajemen Informasi Sistem)  
3.   Ada kesan masyarakat a priori terhadap ruang partisipasi Publik ini terjadi di sebabkan masyarakat masih meragukan apakah ide-ide yang di sampaikan lewat jalur partisipasi masyarakat diakomudir oleh pengambil kebijakan.
B. Saran-saran
1.Pemerintah Kota Banda Aceh diharapkan senantiasa membuka ruang partisipasi masyarakat terhadap pembentukan qanun guna terciptanya epektifitas pemberlakuan qanun di Kota Banda Aceh.
2.Pihak-pihak LSM perlu mendorong pemerintah sekaligus menberikan pencerahan kepada masyarakat agar setiap pembentukan kebijakan pemerintah yang bersifat Rechgeling senatiasa dilibatkan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan qanun yang akan di berlakukan.


DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arnstein, Sheri R, A Ladder of Citizen Participation, Amerikan Institute of Planner Journal, 1969
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002,
Afrizal tjoetra dkk, Modul untuk Perancangan Qanun, Merancang Qanun, Merancang Pembaharuan Aceh, ADF Banda Aceh 
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta, 2006
Bagir Manan, Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan , Jakarta, 1994,
Daud Gaurauf, Belajar Politik Bersama Masyarakat: Membangun demokrasi Menuju Masyarakat Partisipasif, JeMP dan Pekab Wonoso, 2002
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Alih Bahasa :Somardi, Rimi Press, Jakarta, 1995
Henc Van Maarseveen. "Bevoegdheid" dalani PWC. Akkeiinaans, dkk, Algemene Bcgnppen Van Staats Rccht, deel I, W.E.J.Tjeen Willink Zwolle, 1985.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara ,  Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Jakarta, Edisi ketiga 1993,
Khairani dkk, Riset Analisis Kebijakan Publik, Pusham UNSYIAH, 2009
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Pembentukannya, Kanisius: Yogyakarta, 2007
Rifkin, Primary Health Care: on Measuring Partisipation, Social Science and Medicine, 1988
B. Karya Ilmiah  dan Artikel di Internet
Andi Mattalatta, Sambutan Lokakarya Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Melalui Peningkatan Kompetensi Aparatur Pemerintahan Daerah Dalam Tertib Pembentukan Peraturan Daerah, Jakarta  19-21 November 2007
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi dan Anak Agung Sri Utari, Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Artilel Imiah: Kertha Patrika, Vol 33 No.1 Januari 2008
Anwar Sadat, Masyarakat dalam Penyusunan Produk Hukum, www.google, partisipasi, 5 Nopember 2009
Rudi Ismawan, Partisipasi Masyarakat dalam Penetepan Kebijakan Daerah, www.google, 4 Nopember 2009
D. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun


[1] Pasal 2 ayat (1) huruf h Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan qanun
                2 Khairani dkk, Riset Analisis Kebijakan Publik, Pusham Unsyiah, 2009, Hlm.16
                3. Ibid.
[4]Andi Mattalatta, Sambutan Lokakarya Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Melalui Peningkatan Kompetensi Aparatur Pemerintahan Daerah Dalam Tertib Pembentukan Peraturan Daerah, Jakarta  19-21 November 2007
[5]Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 diurutkan tingkatan peraturan perundangan-undangan mulai dari, UUD, UU/Perpu, PP, Perpres, Qanun. Selanjutnya Qanun terdiri dari: Qanun Provinsi, Qanun Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa atau nama lainnya.
[6] Walter Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan (Susunan II). Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. 1994. hlm  51-61.
[7]Anwar Sadat, Masyarakat dalam penyusunan produk hukum, www.google.partisipasi masyarakat, 5 Nopember 2009          
[8]Rifkin, Primary Health Care: on Measuring Partisipation, Social Science and Medicine, 1988, Hlm.931-940
[9]Arnstein, Shery R, A Ladder of Citizen Participation, Amerikan Institutet of Planners Journal, 1969, Hlm. 20.
[10]Rudi Ismawan, Partisipasi masyarakat dalam penetuan kebijakan daerah, www. Google, 4 Nopember 2009
[11]Ni Made Ari Yuliartini Griadi dan Agung Sri Utami, Partisipasi Masyarakat dalam Pembenntukan Peraturan Daerah, Hlm. 3. Artikel Ilmiah: Kertha Patrika Vo.33 No.1 Januari 2008
[12]Ibid.
[13]Ibid. hlm.4
[14] Edi Soeharto, Analisis Kebijakan Publik Panduan Praktis Pengkaji Masalah dan Kebijakan social, Alfa Beta Bandung, 2005, Hlm. 13
[15] Ibid
[16] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undagan, Proses dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta,  2007, Hlm.  262-265
[17] Daud Gauraf, Belajar Politik Bersama Masyarakat: Membangun Demokratis Menuju Masyarakat Partisipasif, JeMP dan Pekab Wonoso, 2002, Hlm.  60
[18] Kamus Besar Bahasa Indonesia 2001, Hlm. 831
[19] Jazim Hamidi, Pembentukan Peraturan Daerah,  Prestasi Pustaka, 2008, Hlm. 48
[20] Nani, Staf Setwan bidang Panleg DPRK Banda Aceh, Wawancara tanggal 4 Nopember  2009
[21] Nizwar, Staf Kasubbag Perundang-undangan pada Bagian Hukum Setda Kota Banda Aceh, Wawancara tanggal 4 Nopember  2009.
[22]Edi Saputra, Kepala Subbag. Dokumentasi dan Informasi Hukum pada Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Bada Aceh, Wawancara Tanggal 5 Nopember  2009
               [23] Afrizal Tjoetra dkk, Modul untuk Perancangan Qanun, Merancang Qanun, Merancang Pembaharuan Aceh, ADF Banda Aceh  hlm.38.
                [24] Ibid. hlm. 40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar