Pasa
tragedi konflik kekerasan, gempa dan gelombang tsunami di Aceh, banyak
menyisakan berbagai problem social yang sangat komplek. Kehancuran
struktur social, menjadi bagian dari masalah social yang perlu mendapat
perhatian serius kita. Kehancuran, kerusakan dan kehilangan
pemukiman/perkampungan penduduk menjadi salah satu faktor kehilangan
peradaban serta kehancuran struktur pranata sosial masyarakat.
Kehilangan mata pencaharian ini pula sangat terpengaruh terhadap usaha
mempertahankan kelangsungan hidup. Komunitas masyarakat yang rentan ini
sering di hinggapi syndrome :”Patologi Sosial” (penyakit social).
Gelandang dan pengemis merupakan bagian dari penyakit social yang perlu
dicarikan solusi penyelesaiannya.
Singgle
parent, juga menjadi bagian dari problem social pasca konflik dan
tsunami. Terkadang seorang ibu mengerjakan pekerjaan berat, seperti
kerja bangunan, penambak pasir, yang semestinya dilakukan oleh kaum
lelaki, akan tetapi karena keterpaksaan ia harus banting tulang untuk
menjaga kelangsungan hidup sekaligus menjadi tulang punggung keluarga
bagi anak-anaknya.
Disamping
itu, dengan sangat terpaksa seorang anak juga melakukan pekerjaan
seperti yang disebutkan diatas. Banyak kita temui anak-anak yang
semestinya wajib mengenyam pendidikan, malah ia harus bekerja demi
menghidupkan keluarga. Siapakah yang kita salahkan..? bagaimana
kalau kita sering membaca dalam Pasal 34 UUD 1945 yang menyatkan :
“Fakir miskin dan Anak terlantar di pelihara oleh Negara”. Jika kita
mencermati pasal tersebut tentu ini menjadi tanggung jawab Negara.
Lantas apakah kita cendrung menyalahkan pemerintah an sich.
Menjadi
pengemis anak dan anak jalanan, tentu bukan impian anak-anak. Akan
tetapi ini bagian dari dampak konflik yang berkepanjangan atau musibah
Gempa dan Gelombang Tsunami, ataupun usaha orang tua yang malas untuk
memper alat anak-anak karena kemalasannya. Kalau alasan yang terakhir
ini benar, maka sungguh tidak manusiawinya orang tua.
Hampir
di sepanjang trotoar kita lihat banyak anak-anak yang berprofesi
menjadi pengemis. Anak jalanan sering di nobatkan menjadi GEPENG. Yang
sangat drastis penambanhan anak-anak jalanan dan Anak-anak pengemis
justru terjadi pasca konflik dan tsunami. Tentu kita harus mencari
solusi alternatif. Bukankah pemerintah telah memberikan kewenangan
kepada Lembaga Badan Pemberdayaan Kesejahteraan Masyarakat (BPMKS) dan
Dinas Sosial untuk mengatasi problem ini. Atau dua lembaga yang saya
sebutkan tadi sudah kelelahan dalam mengatasi problem ini.
Tentunya,
pembiaran sosial semacam ini berarti bersepakat menghancurkan generasi
masa depan agama, bangsa dan negara. Maka Islam sebagai agama
rahmatallil`alamin menawarkan konsep solusi yang jitu. Dengan pendekatan
saling ta`awun satu sama lain. Disinilah peran zakat, infaq dan sadaqah
sebagai mana yang di deskripsikan oleh Al-Qur`an. Orang-orang yang
kelebihan harta tentu diwajibkan untuk menafkahkan sebagian rezkinya
untuk saling membantu satu sama lainnya.
Problematika Sosial Anak-anak
Memahami
problematika yang melatar belakangi kenapa anak-anak terkontaminasi
dengan masalah sosial, menjadi sesuatu yang lebih penting untuk
didiskusikan. Mencari solusi memang suatu yang sangat penting. Namum
mencari akar permasalahan jauh lebih penting sehingga solusi yang di
ambil lebih tepat dan strategis. Mungkin pendekatan yang selama ini di
jalankan justri lebih kepada mencari solusi tanpa meneropong lebih jauh
penyebab nya, sehingga resep yang di terapkan tidak jitu alias sia-sia.
Sedikit
merunut pada data Litbang Dinas Sosial Tahun 2006 mengambarkan bahwa
problem sosial terkait dengan anak-anak sangat bombastis seperti
fakirmiskin 273.930 orang, anak terlantar 15.482 orang, anak jalanan 590
orang. Anak nakal 1.823 orang, anak korban tindak kekerasan 5.909
orang, keluarga bermasalah sosial psikologis 1.190 orang, gelandangan
dan pengemis 1.884 orang, penyandang cacat 23.421 orang, Anak yatim,
piatu dan anak yatim piatu 67.632 orang, Wanita rawan sosial ekonomi
42.767 orang, korban Narkoba 1.467 orang (diantaranya anak-anak).
Data ini hampir semuanya terkait dengan problem sosial anak-anak (pengemis dan anak jalanan).[2] Informasi
ini setidaknya bisa menjawab pertanyaan mengapa anak-anak menjadi
pengemis dan anak jalanan. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi faktor
sehingga anak menjadi pengemis dan anak jalanan, antara lain: akibat
tindak kekerasan, bukan hanya tindak kekerasan eksternal (konflik,
lingkungan), kekerasan internal (broken home, suasana keluarga yang
sering bermasalah). Faktor ini sangat rendah bagi anak-anak untuk nekat
terjun menjadi pengemis dan gelandangan. Demikian juga ketika konflik
kekerasan terjadi di Aceh masih berlangsung, pada saat Aceh dalam
suasana konflik para pihak sering menggunakan jasa anak-anak untuk
menjadi informan sebagai media pemberi informasi pihak lawan. Masalah
kemiskinan dan wanita rawan sosial ekonomi juga sangat berpeluang anak
menjadi pengemis dan gelandangan. Lebih-lebih bagi anak yatim dan piatu,
disamping itu lingkungan yang tidak kondusif juga berpeluang menjadi
anak menjadi pengemis dan gelandangan.
Islam dan Anak-anak
Islam
sebagai Dinullah, sangat konsern terhadap anak-anak. Ada beberapa term
yang di gunakan oleh Islam terhadap konsep anak diantaranya menggunakan
istilah ”waladun” (Qs. Lukman ;14), ”bunayya atau baniyun” (Qs. Lukman;
13) atau juga istilah Qurrata `ayun. Ini menandakan islam sangat serius
membicarakan tentang konsep anak.
Anak
sebagai harapan bangsa, negara dan agama menuntut orang tua untuk
serius memikirkan tentang keturunan. Islam juga memberikan apresiasi
yang bagus terhadap orang tua dalam hal pendidikan seorang anak.
Bukankah madrasatul ula adalah keluarga terutama ibunya. Tentu konsep
pendidikan dalam islam harus berbarengan dengan Tauhidullah (Qs. Lukman
;12)
Ajaran
tauhid inilah yang selalu memberi spirit dalam menangani kompetisi
kehidupan secara sehat, suka bekerja keras untuk menggapai kehidupan
yang harmonis sejahtera dunia dan akhirat. Ini dapat dicermati dalam
konsep shalat. Shalat menggambarkan konsep ilahiyah, dan sosial
kemasyarakat. Diawali dengan Takbir dan di akhiri dengan salam. Ini
mendeskripsikan oleh Peng esahan Allah dan Sosila kemasyarakatan.
Konsep Islam tentang Harta & Solusi Alternatif Kemiskinan
Harta
atau kekayaan merupakan sesuatu yang paling urgent dalam islam. Islam
mengingatkan kita untuk harus amanah dalam mengelola harta kekayaan oleh
karena itu islam selalu mensinergiskan harta dengan konsep derma alias
menginfakkan harta kepada orang yang membutuhkannya. Konsep zakat
sebenarnya merupakan solusi alternatif dalam mengatasi problem
kemiskinan, akan tetapi kita belum serius menangani masalah ini. Zakat
bukan hanya bernuansa ibadah Mahdhah akan tetapi juga bernuasan Ghairu
Mahdhah (ibadah sosial kemasyarakatan).
Pengemis
dalam konteks islam dikatagori fakir miskin, peminta-minta termasuk
yang dilakukan oleh anak-anak. Pada dasarnya islam tidak melarang
meminta-minta asalkan dilakukan secara wajar (tidak punya kemampuan
secara fisik dan akal). Akan tetapi Islam sangat melarang jika dilakukan
secara tidak wajar dengan menipu, misalnya berpura-pura sabagai orang
cacat fisik/ mental.
Jika
peminta-minta atau pengemis itu menimpa anak-anak (usia 18 tahun
kebawah), dengan segala latar penyebabnya (seperti yang telah disebutkan
diatas) hal ini menjadi masalah yang sangat memprihatinkan, karena
menyangkut dengan masa depan sebuah generasi anak bangsa. Apalagi jika
menimpa generasi Islam Aceh. Tentu problem ini tidak boleh menjadi
pembiaran. Ada bebarapa tawaran solusi dan jawaban konkret agar cepat
mengatasinya. Adapun beberapa tawaran solusi yang bersentuhan langsung
antaralain :
1. Pemberdayaan Ekonomi
Memberi
modal adalah bagian dari tatacara memberdayakan anak-anak ini, yang
kemudian sangat berpengaruh terhadap rasa percaya diri untuk bekerja
secara ekonomi, sehingga kemandirian dan harga dirinya akan bangkit
kembali untuk meraih masa depan yang sudah hilang dan tergadaikan.
2. Memberi ketrampilan dan kecakapan
Menberikan
ketrampilan sebagai upaya menyelematkan anak dari usaha melakukan
pengemis alias meminta-minta dijalan. Ini bisa dilakukan oleh pemerintah
dengan melatih kecakapan hidup (livelihood) sebagai usaha memberikan
ketrampilan kepada anak-anak sehingga ia memiliki ketrampilan ini bisa
dilakukan baik dengan pendidikan formal maupun nor formal. Ketika zaman
dahulu datang seorang pemuda fakir kepada Rasulullah SAW, justru Rasul
memberikan kampak untuk bekerja. Ini menandakan lebih baik di beri kail bila di bandingkan memberi ikan.
3. Menjadikan anak angkat bagi orang kaya
Tentu
sudah sangat tepat jika orang-orang kaya mengangkat anak angkat, dengan
cara menjadikan anak-anak pengemis untuk dijadikan sebagai anak angkat,
ini merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Seandaikan orang-orang yang
kaya di Aceh semuanya memiliki jiwa ayah angkat tentu masalah anak-anak
jalanan akan teratasi. Wallahu a`lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar